Nasional

Lima Pertanyaan atas Spirit Beragama di Era Milenial

Kam, 20 Juni 2019 | 07:30 WIB

Jakarta, NU Online
Beragama di era milenial mengharuskan seseorang mampu memfilter informasi dan bacaan-bacaan agama di internet dan media sosial. Di sini masih pentingnya peran dan posisi guru sebagai tempat bertanya atas informasi yang didapat.

Di era milenial ini juga setiap orang bisa dengan mudah menaikkan spirit beragamanya karena terpicu konten-konten agama di media sosial. Tren beragama di era media sosial menjadi semacam kebanggaan sehingga beberapa hal memerlukan perenungan.

Terkait spirit beragama di era milenial ini, Pakar Tasawuf KH M. Luqman Hakim memaparkan lima pertanyaan sebagai perenungan.

Salah satu pertanyaan Pengasuh Pondok Pesantren Raudhatul Muhibbin Caringin, Bogor, Jawa Barat itu ialah terkait ritual ibadah yang seharusnya tidak terpisah dengan kehidupan sehari-hari manusia.

Di sini Kiai Luqman menekankan dimensi sosial dalam sebuah ibadah. Berikut lima pertanyaan Kiai Luqman tersebut yang dikutip NU Online, Kamis (20/6) lewat twitternya:

Pertama, apakah agama ini diposisikan sebagai ritual yang terpisah dari kehidupan sehari-hari, atau sebagai pelarian-pelarian atas ketakberdayaan yang diliputi keputusasaan, ataukah agama telah memerankan sebagai spirit kehidupan yang aktual sehari?

Kedua, apakah cara beragama mereka sampai akar paling dasar, sampai pada ruh agama, atau sekadar identitas untuk meneguhkan ‘rasa percaya diri’ bahwa mereka telah beragama? Lalu berakhir dengan kebanggaan beragama dg cara menyalahkan pihak-pihak yang tidak sesuai dengan cara beragamanya?

Ketiga, bagaimana situasi psikologis yang sering menyeret imajinasi generasi milenial yang menginginkan segalanya serba instan, bahkan dalam cara dia memeluk agama, menginginkan jawaban agar agama yang bisa memuaskan selera mereka? Bahkan memaksa Tuhan menuruti selera mereka?

Keempat, bagaimana dngan mereka yg sudah mulai menemukan jatidiri spiritualnya, apakah telah memuaskan mereka atau sebaliknya membuat mereka bingung, dan malah terasing dengan modernitas? Sejauh mana dunia sufi menjawab itu semua, dan bagaimana peran lembaga-lembaga tasawuf dan thariqah selama ini?

Kelima, pertanyaan paling mendasar, apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW – andai beliau diturunkan saat ini -- ketika menghadapi masyarakat milenial yang penuh dengan pergumulan saintek, kebudayaan yang paradoks?

“Jawaban atas semua pertanyaan itu, tanggung jawab kita semua,” pungkas Kiai Luqman. (Fathoni)