Nasional

Literasi Damai Cegah Perempuan dari Doktrin Teroris

NU Online  ·  Ahad, 13 Januari 2019 | 07:45 WIB

Jakarta, NU Online
Dunia terorisme global saat ini menggunakan perempuan tidak hanya sebagai korban, tetapi juga sebagai pelaku dan agen. Ini akan terjadi terus terjadi bila perempuan tidak dibekali literasi damai melawan kekerasan. Makanya, harus ada gerakan pencerahan terutama untukistri dan anak-anak perempuan.

Demikian disampaikan Direktur Musdah Raya Foundation Musdah Mulia saat mengisi peluncuran dan bedah buku Perempuan dan Terorisme, di Gramedia Matraman, Jakarta Pusat, Sabtu (12/1) siang. 

Musdah menilai penting bagi semua pihak untuk meningkatkan literasi agar bisa menanggulangi doktrinasi teroris. Upayanya, melalui konter ideologi yang mengarah pada narasi-narasi kekerasan.

“Waspadai perilaku intoleran di masyarakat. Karena itu awal dari apa yang dihadapi di Syiria. Jangan pernah memandang enteng perilaku intoleran sekecil apapun. Intoleran yang dimaksud sehari-hari seperti kebencian dan permusuhan karena perbedaan,” seru pakar gender itu.

Dalam bedah buku yang ditulis oleh Leebarty Taskarina itu Musdah menegaskan perempuan dan terorisme bukan blaming yang mengidentikkan perempuan denganteroris. Buku ini, ungkapnya, ada upaya sistematis yang melibatkan perempuan dalam gerakan terorisme.

“Islam tidak pernah mengajarkan kepatuhan istri terhadap suami yang teroris,” tegas Musdah yang di dampingi AKBP Didik Novi Rahmanto, Kasatgas Foreigner Terrorist BNPT, yang menjadi pembedah buku. 

“Perempuan lebih memungkinkan bisa menjadi peace maker (pelaku perdamaian, red) di banding trouble maker (pelaku keributan, red), karena di dalam diri perempuan ada rasa mengayomi, keibuan, feminin,” sambungnya.

Sementara itu, selaku penulis Taskarina mengisahkan salah satu kasus perempuan istri pelaku kejatahatan teror yang menikah pada usia 15, berasal dari kawasan yang terpinggirkan di Indonesia Timur. Perempuan ini awalnya hidup di bawah standar sehingga sempat berpikir bahwa menikah akan mengubah nasibnya.

“Namun ternyata setelah menikah ia diajak suaminya latihan teroris masuk ke dalam hutan, menyeberangi sungai yang dalam, menyusuri tebing yang curam,” papar Taskarina yang membeberkan datanya bahwa perempuan-perempuan yang diteliti nasibnya sangat naas.

Soal terorisme, kata dia, istri pelaku teror merupakan korban, sebab suaminya tidak peduli pada dirinya. Dampak yang ditimbulkan pun para istri pelaku kejahatan teroris yang susah diterima di masyarakat bahkan cenderung tolak. Bagi Taskarina, harus ada perspektif yang lebih luas melihat perempuan dalam kejahatan terorisme. (M. Zidni Nafi’/Fathoni)