Nasional

LSF Nahdliyin Gelar Tadarus Ramadhan Pemikiran Nawal El Saadawi

Sen, 19 April 2021 | 09:45 WIB

LSF Nahdliyin Gelar Tadarus Ramadhan Pemikiran Nawal El Saadawi

Karya-karya Nawal El Saadawi.

Jakarta, NU Online

Lembaga Studi Filsafat (LSF) Nahdliyin menyemarakkan momentum Ramadhan dengan mengadakan Tadarus Ramadhan Pemikiran Feminisme Nawal El Saadawi bersama Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Irma Riyani, secara daring selama 11 hari ke depan.


Nawal El Saadawi merupakan sosok aktivis feminis dunia yang telah melahirkan banyak pemikiran lewat karya-karya yang melegenda, seperti, Perempuan di Titik Nol dan Memoar dari Penjara Wanita. Disebutkan Irma, upaya Nawal yang tertuang dalam tulisan-tulisan fenomenalnya adalah sebagai bentuk penyuaraan hak-hak perempuan yang selama ini terpinggirkan di kalangan masyarakat patriarki.


"Inilah kemudian yang dilakukan oleh Nawal El Saadawi dalam rangka menyuarakan pengalaman-pengalaman perempuan yang tertuang dalam novel-novelnya, sebagai perjuangan mengeliminasi ketertindasan," kata Irma, Ahad (18/4).


Berbicara soal gerakan feminisme dalam pandangan sebagian orang sering kali ditemukan kontroversi baik dalam istilah maupun konsep dari Feminisme itu sendiri, akan tetapi, menurut Irma, Gerakan Feminisme sebetulnya diarahkan kepada perjuangan perempuan atas ketidakadilan yang muncul berdasarkan jenis kelamin. 


"Nah, para feminis ini berusaha untuk melakukan perjuangan, memperjuangkan nasib mereka dalam berbagai kesempatan atas kebutuhan dasar manusianya yang kemudian tidak dipenuhi, padahal dia sebagai manusia yang sama dengan laki-laki," tutur Irma.


Jika melihat peta pergerakan feminisme, menurut keterangan Irma, gerakan-gerakan feminisme di Mesir atau di wilayah Timur itu lahir lebih awal jauh sebelum mencuat di bagian Barat.

 

"Jadi jangan kemudian kita menganggap bahwa idenya mengadopsi dari Barat, sebetulnya tidak, karena, kalau di Barat gerakan ini dimulai pada tahun 80-an ketika mereka menyuarakan hak-hak mereka dalam pemilihan umum," ungkapnya. 


Irma menambahkan paparannya, bahwa di Mesir sendiri gerakan feminisme muncul pada 1800 Masehi, yang kemudian dikenal publik pada 1919 oleh aktivis feminis, Huda Sharawi yang berorasi di khalayak ramai sehubungan dengan nasionalisme sebagai bentuk protes kolonialisasi Inggris atas Mesir, dan berkat keberanian Huda gerakan ini mendapatkan banyak dukungan dari berbagai kalangan.


"Hentakan yang dilakukan Huda ini sebagai tanda karena ketertindasan-ketertindasan bukan saja di ranah domestik oleh laki-laki Mesir, tetapi, pada saat yang sama juga oleh penjajahan," terang Irma.


Momentum ini membentuk aktivitas-aktivitas perempuan di sana semakin terlihat, terbukti saat 2011 Nawal dan aktivis feminis perempuan lainnya berduyun-duyun menuntut pemenuhan hak atas tirani otoritarianisme pemerintahan pada saat itu. 


"Dan kita juga lihat di Indonesia misalnya, perempuan Indonesia juga sudah melaksanakan Kongres Perempuan sejak 1928, jadi, kalau kita bicara feminisme yang ada di Indonesia itu rutenya dari Barat mungkin ada kesalahan," paparnya.


"Karena, gerakan-gerakan untuk memperjuangkan ketidakadilan itu sangat melokal dan sudah muncul di beberapa tempat, bukan hanya di Barat saja," sambung Irma.


Selanjutnya, Irma menyebut, Margot Badran dalam bukunya Feminism in Islam: Secular and Religious Convergence menjelaskan tiga pembagian fase sejarah feminisme di Mesir, pertama, Invisible Feminism atau fase terlarang pada 1860 hingga 1920, di mana pada saat itu fleksibilitas perempuan sangat diatur oleh laki-laki, bahkan dalam menyuarakan pendapat melalui tulisan. 


"Nawal Saadawi, misalnya, dia harus bercerai dengan suaminya karena melarang dia untuk menulis, atau Padma yang senang menulis akan tetapi baru berani mempublikasi ketika suaminya sudah meninggal, karena saking tidak bolehnya perempuan menyuarakan ide-idenya," tutur penulis Islam, Women's Sexuality and Patriarchy in Indonesia ini. 


Kemudian, Fase kedua, pada 1920 hingga 1980 muncul gerakan perempuan terorganisir yang diberi nama The Egyptian Feminists Union (1930), menyusul pada 1944 terbentuk pula The Arab Feminist Union, dan di Fase ketiga, 1970 sampai sekarang merupakan kebangkitan ekspresi gerakan feminisme yang beriringan pula dengan berdirinya para fundamentalis islam.


"Tetapi, di Fase ini di tahun 1980-an terbentuknya The Arab Women's Solidarity Association (AWSA) yang diketuai oleh Nawal El Saadawi sebagai presidennya," lanjut dia.


Bermula di Mesir kemudian lambat laun kemunculan AWSA disambut baik hingga membentuk beberapa cabang di berbagai belahan Arab, oleh sebab itu, para aktivis perempuan/Nisaiyyat di Mesir meminjam istilah feminisme sebagai bentuk pembebasan perempuan dari berbagai penindasan yang dialami sehari-hari. 


Latar Belakang Nawal El Saadawi


Nawal El Saadawi terlahir dari keluarga kelas menengah atas sehingga ia mempunyai keistimewaan untuk dapat bersekolah dan menjadi seorang dokter juga psikiater, nalar kritis Nawal sudah terbentuk sejak kecil lewat sikap protes yang ia tujukan kepada hal-hal yang bersifat mendikotomi termasuk kepada keluarganya sendiri. 


"Misalnya, dengan selalu bertanya kenapa perlakuan orang tuanya berbeda antara dia dengan Kakak laki-lakinya," kata Irma. 
 

Irma juga memaparkan, Nawal pernah menjabat sebagai Direktur Umum di Lembaga Pendidikan Kesehatan, bahkan menjadi redaktur majalah kesehatan, tetapi, kemudian dia dipecat karena ide dalam salah satu bukunya, Women and Sex yang dianggap tabu oleh otoritas pemerintah Mesir hingga membuatnya dipenjara dan karya-karyanya tidak boleh lagi diterbitkan. 


Telaah Karya Nawal El Saadawi 


Irma menggambarkan suatu kondisi ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam novel Perempuan di Titik Nol, dengan banyaknya ditemukan sikap merendahkan dan memarjinalkan perempuan sebagai makhluk yang lemah yang ada di bawah kendali laki-laki


"Maka dari itu, saya melihat ada dua aspek penting untuk saya bahas yang tertuang dalam karya Nawal Saadawi, pertama, hegemoni dalam bentuk kekerasan terselubung yang dilakukan di tempat kerja atau di tempat umum, kedua, hegemoni dalam bentuk pelecehan seksual kepada tokoh Firdaus dalam Novel Perempuan di Titik Nol ini," jelasnya. 


Ditambahkan oleh Irma, pelecehan seksual yang terjadi di masyarakat lewat siulan, catcalling, atau ungkapan-ungkapan tidak senonoh lainnya merupakan kejahatan terhadap perempuan yang paling sering dilakukan.

 

"Seperti, kata-kata kotor yang dilemparkan kepada Firdaus karena dianggap dan diperlakukan tidak selayaknya perempuan," imbuh dia.


Kontributor: Syifa Arrahmah

Editor: Fathoni Ahmad