Nasional

Mahfud MD: Tidak Bisa Minta Hukum Islam Berlaku

NU Online  ·  Kamis, 22 November 2018 | 16:15 WIB

Mahfud MD: Tidak Bisa Minta Hukum Islam Berlaku

Mahfud MD (kanan) dan Masykuri Abdillah.

Tangerang Selatan, NU Online
Indonesia merupakan negara kebangsaan yang berdasar pada ketuhanan. Negara demikian menjadi jalan tengah di antara perdebatan antara negara agama, yang berdasar agama tertentu, dan negara sekuler yang memisahkan antara urusan agama dan negara.
 
"Minta hukum Islam berlaku tidak bisa," kata Mahfud MD, guru besar hukum tata negara Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Kamis (22/11).

Hal tersebut disampaikannya saat mengisi seminar nasional yang mengusung tema Islam dan Konstitusi, Implementasi Ajaran Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jalan Kertamukti, Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan, Banten.

Meskipun demikian, semua peribadatan agama dilindungi oleh negara. Negara tidak melarang orang beribadah shalat, puasa, zakat, ataupun pergi ke gereja, pura, vihara, dan sebagainya. Muslim hendak berangkat haji tidak ada aturan hukumnya. Negara membuat aturan untuk melindungi keselamatannya. Ada makanan yang haram dalam Islam, seperti daging babi. Pemerintah mengaturnya dengan membuat label halal.

"Tidak memberlakukan hukum agama, tetapi melindungi hukum agama," ujar Mahfud.

Negara Islam
Perjuangan menegakkan khilafah islamiyah itu sejak dulu sudah dilakukan secara resmi sejak BPUPKI. Pada tahun 1955 perjuangan sudah ada lagi mengusulkan negara Islam melalui NU, Perti, PSII, dan Masyumi. Saat itu baru lima banding empat. Semestinya, perbandingannya minimalnya dua banding tiga.
 
"Bung Karno mengeluarkan Dekrit Presiden kembali ke 18 Agustus tahun '45," kata Ketua Mahkamah Konstitusi 2008-2013 itu.
 
Memberlakukan hukum Islam itu bagus, kata Mahfud, mengingat kita orang Islam. Mendirikan negara Islam itu juga penting, mengingat kaidah fiqih Ma laa yatimmul wajib illa bihi fahuwa wajib. "Jika menegakkan amar maruf nahi munkar itu tidak bisa dilakukan kalau tidak ada negara, maka mendirikan negara itu hukumnya wajib," terangnya.
 
Tetapi hal tersebut tidak dapat terwujud mengingat kalah dalam proses perjuangannya. Sebab, tidak ada menemui kesepakatan untuk itu. Maka, Mahfud mengungkapkan kaidah fiqih lainnya, maa laa yudraku kulluhu laa yutraku kulluh. "Kalau kau tidak bisa ambil keseluruhan dasar negaranya Islam, masuklah sisa-sisa yang masih ada," jelasnya.
 
Karena itu, para perwakilan Islam itu membuat departemen agama, memasukkan pendidikan agama ke dalam sekolah, mengisi parlemen dan berbagai jabatan lain guna mewarnai kehidupan.

"Kalau tidak dapat seluruhnya, maka masuk dari berbagai pintu yang bisa," imbuhnya.
 
Lebih lanjut, pria kelahiran 13 Mei 1957 itu juga menerangkan bahwa partai yang menginginkan penggantian dasar negara pada Pemilu 1998 hanya mendapat 13 persen. 87 persen lainnya masih menginginkan negara berdasarkan Pancasila. Artinya, lanjut Mahfud, seluruh proses konstitusional sudah ditempuh.
 
"Kalau bertengkar terus, kapan majunya?" tegas Mahfud.
 
Pria yang juga menamatkan studi di jurusan Sastra Arab Universitas Gadjah Mada (UGM) itu menjelaskan bahwa setiap manusia itu hidup bernegara. Tidak ada seorangpun yang tidak bernegara. Sebab, katanya, bernegara fitrah Tuhan. Yang tidak ada dalam Islam itu sistemnya. "Islam tidak punya sistem yang baku," katanya.
 
Karenanya, hasil ijtihad para ulama berbeda-beda. Di antara Al-Mawardi, Al-Maududi, Al-Afghani, dan Ibnu Khaldun, misalnya, itu berbeda-beda konsep kenegaraannya. Soal sistemnya, lanjut Mahfud, boleh buat sendiri-sendiri. Yang penting adil, amanah, tabligh, sidiq, dan fathonah. Terserah seistemnya, seperti apa, parlementer, presidensil, ataupun kerajaan.
 
Khulafaur Rasyidin meskipun bentuknya khilafah, tetapi juga tidak memiliki sistem yang baku. Mahfud menerangkan bahwa Abu Bakar dipilih berdasar pemilihan dengan sebutan khalifah, Umar bin Khattab ditunjuk oleh Abu Bakar dan disebut amir, Utsman bin Affan dipilih melalui sistem ahlul halli wal aqdi, sedangkan Ali bin Abi Thalib disebut sebagai imam.
 
"Ya, itu khilafah tapi tidak ada sistem bakunya," tegas pria asal Sampang itu.
 
Oleh karena itu, pria yang pernah menjadi Menteri Kehakiman era Presiden KH Abdurrahman Wahid itu menegaskan bahwa Indonesia merupakan negara yang sah secara syariat.
 
"Tidak bertentangan dengan hukum agama yang kita anut," pungkasnya.

Dalam seminar tersebut, hadir juga Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Masykuri Abdillah. Pada sesi sebelumnya, hadir Ketua Mahkamah Konstitusi 2003-2008 Jimly Asshiddiqie dan Guru Besar Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Abdul Ghani Abdullah. (Syakir NF/Ibnu Nawawi)