Nasional

Matangkan Unifikasi Tanggal Hijriyah, LFNU Gandeng Subdit Hisab Rukyat Kemenag

Sab, 20 November 2021 | 18:30 WIB

Matangkan Unifikasi Tanggal Hijriyah, LFNU Gandeng Subdit Hisab Rukyat Kemenag

Focus Group Discussion (FGD) Hisab Rukyat Kajian Kriteria Awal Bulan Hijriah dan Implikasinya dalam Rukyatul Hilal yang dihelat di Hotel Bumi Wiyata Depok Jawa Barat, Sabtu (20/11/2021). (Foto: NU Online/Musthofa Asrori)

Depok, NU Online
Dalam rangka mematangkan pembahasan isu-isu tentang hisab rukyat, termasuk unifikasi kalender hijriyah, Lembaga Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LF PBNU) bekerja sama dengan Subdit Hisab Rukyat dan Syariah Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah (Dit Urais Binsyar) Ditjen Bimas Islam Kemenag.


Agenda tersebut dikemas dalam Focus Group Discussion (FGD) Hisab Rukyat Kajian Kriteria Awal Bulan Hijriah dan Implikasinya dalam Rukyatul Hilal yang dihelat di Hotel Bumi Wiyata Depok Jawa Barat ini dijadwalkan dua hari, Sabtu-Ahad, 20-21 November 2021.Depok Jawa Barat, Sabtu (20/11/2021).


Pengurus LF PBNU, Ma’rufin Sudibyo, mengatakan bahwa inti kegiatan lebih melanjutkan kepada pembahasan yang pernah dilakukan secara berkesinambungan di internal LFNU. 


Ma’rufin mengatakan, selama ini pertanyaan yang sering menghantui di NU bahwa kita berdalil berdasarkan hisab rukyat. Itu rujukannya sharih (benar). Jadi, tidak dipertanyakan dari sisi fiqih. Akan tetapi, pertanyaan muncul dari sisi astronomi.


“Artinya begini, pada saat ini misalnya sedang tanggal 29. Kedudukan bulan sudah tinggi. Posisi hilal 5 dejarat. Tapi tidak ada yang melaporkan bahwa hilal terlihat. Berdasarkan prosedur yang selama ini digunakan di LFNU dan sudah dikodifikasi melalui keputusan Muktamar dan Munas, kita tidak bisa memutuskan hari ini masuk bulan yang baru. Jadi, harus istikmal. Padahal kedudukan bulan sudah cukup tinggi,” terangnya.


Menurut dia, ini kemudian implikasinya bergeser ke bulan berikutnya. Pada  penetapan bulan berikutnya, kita akan menghadapi pada tanggal 29 itu kedudukan bulan bukan lagi tinggi. Kalau itu kemudian kita menghadapi situasi kembali mendung di mana-mana, tentu berdasarkan keputusan kita perlu memasukkan hari itu menjadi istikmal kembali.


“Kalau terjadi istikmal dua kali tidak masalah. Nah, kalau terjadi istikmal berturut-turut maka inilah yang kemudian akan mengganggu ritme kalender. Ketika kalender tergantung terganggu ritmenya,” kata Ma’rufin. 


Jika hal itu terjadi, ia mengkhawatirkan terjadi hal yang sama sebagaimana di Saudi Arabia. Waktu itu pernah terjadi 1 bulan jumlahnya 31 hari, padahal itu bulan Dzulhijjah. “Kemudian, juga terjadi di Brunei Darussalam, satu bulan kok 28 hari, padahal itu bulan Syawal. Nah, ini kan aneh. Mestinya 29 atau 30 hari,” ungkapnya.


“Jika kita mau menjadikan satu bulan itu 30 hari, maka maksimal hanya tujug kali dalam satu tahun. Nggak boleh lebih dari itu. Kalau lebih dari tujuh kali maka jumlah hari dalam setahun maka akan berubah,” sambung Ma’rufin.


Di sela kegiatan, Kasi Pengelolaan Hisab Rukyat Subdit Hisab Rukyat dan Syariah Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah (Dit Urais Binsyar) Ditjen Bimas Islam Kemenag, Zamzam Kusumaatmadja, yang membuka resmi FGD menyambut baik kegiatan tersebut.


“Ini merupakan kerja sama kami di Kemenag dengan LFNU. Untuk kali ini, kami mengundang para aktivis Falakiyah PWNU DKI Jakarta yang hadir secara langsung. Untuk daerah lain, ada dari PWNU Jawa Barat, Aceh, Bangka Belitung yang hadir secara virtual,” kata Zamzam.


Diskusi terpumpun ini menhadirkan narasumber Ketua Lembaga Falakiyah PWNU Jawa Timur KH Abdussalam Nawawi. Ia memaparkan pandangannya melalui daring.


Dalam paparannya, Kiai Nawawi mengatakan bahwa Hijriah adalah kalender Bulan yang sistem dan implementasinya dibakukan oleh 'pesan langit' yang turun sejak periode Makkah, yakni sebelum sejumlah amalan dalam Islam yang waktunya dikaitkan dengan kalender tersebut disyariatkan.


“Oleh karena itu, sudut pandang fiqih mengenai kalender ini mesti berselaras dengan dan berada di dalam terang pesan langit tersebut,” kata Kiai Nawawi.


Pewarta: Musthofa Asrori
Editor: Kendi Setiawan