Nasional

Membaca Polarisasi Politik dalam Kampanye Kebencian di Indonesia

Kam, 24 Oktober 2019 | 09:15 WIB

Membaca Polarisasi Politik dalam Kampanye Kebencian di Indonesia

Ilustrasi polarisasi masyarakat: (tr.boell)

Jakarta, NU Online
Peneliti di Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI, Wahyudi Akmaliah, meyakini, polarisasi masyarakat yang terjadi akibat media sosial tidak bisa terlepas dari konteks masyarakat itu berada. Ia mencontohkan, pada 2012 narasi kebencian terhadap salah satu pasangan calon Gubernur DKI Jakarta sudah muncul meski pengguna gawai dan media sosial belum terlalu banyak. Namun secara umum, narasi politik yang berkembang pada saat itu adalah narasi harapan, perubahan, dan kegembiraan dengan mendukung masing-masing calon.

“Pilpres 2014 mulai tajam persaingan di media sosial. Di ruang offline, ada koran Obor Rakyat yang begitu masif di offline dan mempengaruhi elektoral (kasus Jawa Barat). Dan itu dicoba dibawa juga ke ranah online,” jelas Wahyudi dalam workshop Efek Polarisasi Politik dalam Kampanye Kebencian di Indonesia di Griya Gus Dur, Jakarta Pusat, Kamis (24/10).

Pada tahun yang sama, lanjut Wahyudi, muncul nama-nama baru yang memiliki pengaruh besar di media sosial, di antaranya Jonru. Dikatakan, Jonru menjadi ‘otoritas baru’ bagi warganet di media sosial.

Begitupun pada Pilkada DKI Jakarta 2017. Politik kebencian dan pengguna media sosial semakin tinggi. Hal itu menyebabkan polarisasi masyarakat meluas hingga ke daerah-daerah. Hingga akhirnya polarisasi masyarakat terkait politik kebencian membentuk kantong-kantong algoritma.

“Apa yang disebut sebagai benar atau salah tergantung kepada kantong-kantong algoritma. Akhirnya versi yang disebut benar dalam politik menjadi dua, sesuai dengan narasi yang dibentuk tim sukses masing-masing,” paparnya.

Menurutnya, Pilkada DKI Jakarta 2017 yang menggunakan sentiment agama dan politik kebencian dipraktikkan ke dalam pilkada di beberapa daerah seperti Sumatera Utara, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Meski tidak semua sukses seperti Pilkada DKI Jakarta 2017.

“Yang menarik, pasca pilpres sudah selesai, Prabowo merapat ke pemerintah. Kita tidak bisa lagi membaca politik elektoral sebelum pilpres dan pasca pilpres. Narasi cebong dan kampret saat ini hilang (total). Kelompok konservatif harus cari tunggangan isu baru. Saat ini muncul apa yang disebut Illiberal demokrasi, di mana ada negara melawan rakyat,” urainya.

Meski demikian, Wahyudi menyebut kalau pihak-pihak tertentu terus berupaya memelihara polarisasi tersebut, dengan maraknya para penggaung (buzzers) di media sosial. 

Multikulturalisme Penyebab Polarisasi?
Direktur NU Online Savic Ali menduga, multikulturalisme lah yang menyebabkan terjadinya polarisasi di masyarakat karena hal itu terjadi di seluruh negara. Di samping faktor politik dan agama yang dianggap menyumbang besar terjadinya polarisasi.

“Dulu kita menganggap globalisasi yang akan mendorong multikulturalisme, ada banyak taman Bunga di sebuah kota, negara, macam-macam, dan orang bisa respecting diversity (menghargai perbedaan), ternyata tidak. Boleh jadi multikulturalisme itu menciptakan kebingungan dan kebingungan melahirkan polarisasi,” katanya.

Ia menambahkan, dalam kasus Pilkada DKI Jakarta 2017 atau Pilpres 2019 polarisasi masyarakat dipengaruhi afiliasi politik. Namun jika ditarik lebih dalam, polarisasi tidak hanya disebabkan afiliasi politik tapi juga nilai (value) yang berbeda.

“Saya punya pertanyaan, boleh jadi keragaman nilai menciptakan polarisasi. Ibaratnya tidak ada hanya satu center saja, tapi multi center. Titik-titik refleksinya banyak. Entah itu sekadar afilisasi karena kesejarahan, kedekatan sosial daerah,”  jelasnya.

Misalnya, lanjutnya, ada orang yang membela tahlil karena dia memang Nahdliyin (afiliasi dan nilai). Ada juga orang yang tidak pernah tahlil namun dia membela tahlil karena dia berafiliasi dengan NU, bukan nilai. Menurutnya, kalau polarisasi disebabkan afiliasi lebih mudah ‘dicairkan’.

“Begitu Prabowo masuk kabinet, saya yakin cebong-kampret akan selesai. Tapi karena ini bukan karena afiliasi, tapi karena referensi nilai yang berbeda-beda itu melahirkan polarisasi baru, bukan karena membuat orang makin respecting diversity.

Dia menduga, bayangan manusia tentang multikulturalisme merupakan harapan yang ketinggian dan ilusi. Dia mencontohkan, Amerika Serikat (AS) yang merupakan negara kaum imigran saja sekarang sentiment terhadap imigran begitu kuat di sana. Dalam artian, kemampuan manusia untuk menghargai keragaman bisa saja rendah. Atau bisa jadi itu adalah ideal yang terlalu tinggi bagi manusia.

Dunia modern, imbuhnya, menyediakan banyak nilai (value) yang sebelumnya tidak pernah dilihat. Keragaman nilai itulah yang diduga menjadi penyebab manusia tidak mampu mengambil keputusan dengan cepat. Baginya, polarisasi akan menjadi corak abad 21. Hal itu menjadi konsekuensi dari beragamnya pusat nilai tersebut.

“Kalau (polarisasi disebabkan) afiliasi sosial politik akan cenderung terbelah pada kekuatan-kekuatan yang relatif powerful. Karena kalau kekuatan yang kecil, dia akan kalah. Tapi kalau polarisasi bukan disebabkan afiliasi sosial politik, tapi pada value, sekecil apapun karena diaa value, dia akan men-challenge,” urainya.
 

Pewarta: Muchlishon
Editor: Alhafiz Kurniawan