Nasional

Membayangkan Masyarakat Masa Depan dari Perspektif Agama: soal Childfree hingga Teknologi

Sab, 2 Desember 2023 | 20:00 WIB

Membayangkan Masyarakat Masa Depan dari Perspektif Agama: soal Childfree hingga Teknologi

Sesi Diskusi Paralel 'Membayangkan Masyarakat Depan dari perspektif agama, di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, Sabtu (2/12/2023). (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ulil Abshar Abdalla (Gus Ulil) menyoroti isu yang menyedot perhatian masyarakat Indonesia selama beberapa tahun terakhir, “childfree” atau terbebas dari beban memiliki anak. 


“Sejak setahun lalu, isu gejala childfree atau bebas dari beban anak menjadi topik hangat di media sosial,” ungkap Gus Ulil saat mengisi Sesi Diskusi Paralel Muktamar Pemikiran NU 2023 di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, Sabtu (2/12/2023).

 
Berbicara tentang membayangkan masyarakat masa depan sudut pandang agama, Gus Ulil menggambarkan fenomena childfree sebagai pergeseran paradigma, di mana memiliki anak dianggap sebagai beban sosial yang menghambat kebebasan. 


Institusi keluarga pun dinilai sebagai sesuatu yang ketinggalan zaman. Persepsi ini, kata Gus Ulil, mulai merambah ke Indonesia. Hal ini menyiratkan bahwa pandangan tersebut mulai menjadi masalah.


“Ini tidak sesuai dengan visi Nahdlatul Ulama. Oleh karena itu, tema ini kita pilih. Kita berhadapan dengan situasi di mana ancaman-ancaman terhadap institusi sosial, institusi yang membangun masyarakat menjadi serius sekarang. Keluarga menjadi penting,” katanya.  


Sementara itu, Guru Besar Ilmu Al-Qur’an dan tafsir IAIN Ponorogo Prof Aksin Wijaya merujuk pada gagasan KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur tentang Islam Nusantara. Konsep Islam Nusantara dalam masyarakat Indonesia, kata dia, memuat dialog antara Islam dan peradaban yang bukan hanya normatif, tetapi melibatkan dimensi budaya Islam dan budaya Nusantara. 


Wijaya menekankan bahwa Islam Nusantara memiliki tiga prinsip yakni universalisme, dialogis, dan Islam pribumi. Modal ini, kata dia, membuat Islam dapat dijalankan sesuai dengan budaya lokal tanpa kehilangan esensinya di tengah perkembangan kehidupan masyarakat. 


“Mengacu pada gagasan gus dur islam nusantara itu berpijak pada tiga prinsip. Pertama universalisme, dialogis, Islam pribumi,” tutur dia.


Agama vs Teknologi

Sementara itu, Katib Syuriyah PBNU KH Abdul Moqsith Ghazali menyoroti bahwa kondisi ekologis dan perkembangan teknologi membentuk masyarakat di masa depan. 


“Kondisi ekologis membentuk masyarakat di masa depan sehingga kita tidak sama dengan masyarakat di Amerika dan itu akan mempengaruhi cara kita bersosialisasi, berkomunikasi, dan sebagainya,” tuturnya.


Ia menekankan bahwa seberapa jauh peran agama dalam membentuk peradaban perlu dipertanyakan di era modern ini, di mana teknologi tampaknya memiliki peran lebih besar dalam membentuk masyarakat daripada agama.


“Tradisi itu jangan-jangan lebih banyak yang dibentuk bukan yang dibentuk. Unsur dibentuknya lebih besar ketimbang unsur membentuk,” ucap dia.


“Zaman dahulu, agama mempunyai peran penting dalam membentuk perubahan, membentuk masyarakat. Itulah yang dilakukan oleh baginda nabi, sehingga Madinah sepenuhnya perubahannya dikendalikan oleh agama. Tapi di zaman modern abad ke-21 ini, di mana peran agama dalam membentuk peradaban itu? Ketika teknologi hampir membentuk peradaban tunggal,” imbuh dia.


Agama di masa depan, relevankah?

Sementara itu, Guru Besar Ilmu Tafsir Prof Sahiron mengungkapkan bahwa sejatinya agama selalu memiliki misi untuk membentuk kehidupan masyarakat. 


Dengan pesatnya perkembangan teknologi, ia membayangkan bagaimana kelak masyarakat beragama menjadi lebih bermaslahat pada tahun 2045. Tahun yang dicanangkan akan terjadi kemajuan sains dan teknologi diimbangi dengan keberagamaan yang memberikan manfaat. 


“Di tahun 2045, kita akan menciptakan yang maju dari sisi sains teknologinya, tapi dalam waktu yang sama kita ingin menciptakan masyarakat beragama yang lebih maslahah,” tutur dia.


Selaras dengan itu, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UNISNU Jepara Mayadina menilai fungsi agama terus berkembang dan relevan dalam membentuk masa depan sebagai masyarakat yang berperadaban. Hal ini dapat dilihat dari implementasi fiqih peradaban dalam kehidupan sehari-hari.


“Masyarakat berperadaban adalah masyarakat yang menggunakan fiqih peradaban, masyarakat yang bertindak dan menampilkan nilai-nilai peradaban,” ucapnya.


Menjadi pembicara pemungkas pada sesi itu, Rektor Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) H Marzuki Wahid menyatakan bahwa kehadiran nabi dan agama di muka bumi menjadi kontrol moral. Meskipun perkembangan ekonomi, politik, dan beberapa aspek eksternal lainnya dapat berdampak pada cara pandang orang beragama, agama tetap akan eksis. 


“Apapun perkembangan yang terjadi, agama akan tetap eksis. Yang berubah bukan agamanya, tapi di luar itu seperti ekonomi, politik yang berdampak pada cara pandang orang beragama,” ujar dia.


Marzuki juga menyoroti peran pesantren sebagai prototipe masyarakat beragama yang dinamis dan transformatif, menjadi modal dalam membangun peradaban. 


“Masa depan akan diisi dari pergeseran nilai, teknologi, dan hubungan manusia dengan agama, yang semuanya diupayakan untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik dan harmonis,” pungkasnya.