Nasional

Menelisik Jejak Kiprah KHM Minhadjul Adzkiya Kroya, Pendiri NU Cilacap

NU Online  ·  Rabu, 28 Mei 2025 | 18:00 WIB

Menelisik Jejak Kiprah KHM Minhadjul Adzkiya Kroya, Pendiri NU Cilacap

KHM Minhadjul Adzkiya (Foto: Istimewa)

Menjelang pukul 7 pagi, langit masih terlihat mendung, begitu juga sebagian jalanan juga masih basah setelah hujan deras hampir semalaman mengguyur wilayah Kroya dan sekitarnya. Sabtu (24/05/2025).


Hari itu, merupakan hari kedua, penulis bersama beberapa kawan mengikuti workshop Jurnalistik Filantropi se Jateng-DIY. Kegiatan yang diselenggarakan NU Online tersebut, bertempat di Pondok Pesantren Miftahul Huda (Mifda) Semingkir, Desa Bajing Kulon, Kroya, Cilacap, Jawa Tengah.


Pesantren Mifda atau Semingkir, yang letaknya tak jauh dari Stasiun Kroya, berjarak sekitar 800 meter, didirikan oleh KH M Minhadjul Adzkiya (selanjutnya disebut KH Adzkiya) pada tahun 1960-an bersama sejumlah kiai, seperti KH Munawir dan lain-lain. Menurut dari beberapa literatur, KH Adzkiya juga merupakan salah satu pendiri Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Cilacap.


Maka, pagi itu di sela kegiatan, penulis bersama beberapa kawan peserta workshop, berencana untuk berziarah ke makam KH Adzkiya. Dari penuturan salah satu santri Mifda, makam KH Adzkiya terletak tak jauh dari kompleks Pesantren Mifda.


"Dari sini, nanti belok kanan, terus ada pertigaan belok kiri, masuk gang. Lurus saja sampai ke jalan besar. Belok kiri jalan sedikit. Nah, makamnya nanti ada di seberang jalan," kurang lebih begitu saya mengingat petunjuk dari santri, yang saya lupa untuk menanyakan namanya.


Untuk sekadar memastikan, saya membuka peta di Google Map. Jaraknya kurang lebih 300 meter ke arah utara. Akhirnya, kami putuskan untuk berjalan kaki saja, sembari sembari menghirup udara segar pagi dan melihat pemandangan daerah setempat.


Di sekitar jalan yang kami lalui, daerahnya cukup padat penduduk. Mungkin karena dekat dengan stasiun. Setelah berjalan kurang lebih 5 menit, sampailah kami di ujung gang, dan bertemu dengan jalan besar (Jalan Betet). Jalan sebentar ke arah kiri, dari seberang jalan, sudah terlihat papan bertuliskan Makam Keluarga Besar Bani Adzkiya, dengan huruf kapital.


Setelah memastikan keberadaan makam tersebut, kepada warga sekitar. Kami pun menemukan KH Adzkiya. Pada nisan tertulis KH MM Adzkiya. Lahir 01-03-1903. Wafat 18-02-1986.


Letaknya berada persis di pinggir jalan raya, hanya dipisahkan trotoar dan batas sebuah pagar tembok yang rendah, sehingga makam masih dapat terlihat jelas dari luar. Di makam keluarga KH Adzkiya tersebut, terdapat atap sekadar sebagai pelindung, agar tidak langsung terkena sengatan panas dan guyuran hujan. Setelah memanjatkan dzikir dan doa, kami pun kembali ke Pesantren Mifda.


Utusan Muktamar NU
Dari penelusuran di beberapa arsip lama NU, penulis menemukan nama KH Adzkiya kerap hadir dalam perhelatan Muktamar NU. Namun, sebelum KH Adzkiya, terlebih dahulu penulis menemukan nama Kiai Asy'ari dari Cilacap pada Muktamar NU tahun 1929 di Semarang.


Pada momen tersebut, Kiai Asy'ari hadir atas nama pribadi, bukan dari PCNU Cilacap, sebab PCNU Cilacap baru terbentuk pada tahun sesudahnya. Itu pun, diawali dari Kroya. Seperti yang tercantum dalam Majalah Swara Nahdlatoel Oelama (SNO) No V tahun IV yang mengulas perhelatan Muktamar ke VIII NU di Jakarta tahun 1933. Pada daftar hadir nomor 54 tertulis: Kiyahi Hadji Azkiya (ازكيا) utusan Tjabang Kroya.


Kemudian dalam arsip Muktamar ke-X di Surakarta tahun 1935, pada saat masing-masing Cabang NU diberi kesempatan untuk menyampaikan laporan perkembangan NU di daerahnya, NU Tjabang Cilacap diwakili utusan Ibnu Minhajul Adzkiya (منهاج الاذكياء) perkembangan NU di Cilacap sebagai berikut:


"Beranggota 900, terbagi 19 Kring, telah mendirikan 7 madrasah, 3 pondok, megurus 7 masjid dan 10 langgar."


Dari dua dokumen tersebut (Muktamar 1933 dan 1935), kita dapat mengambil asumsi, bahwa pada tahun 1933 telah terbentuk PCNU Cilacap di Kroya. Penambahan kata di Kroya, pada masa tersebut juga dilakukan oleh pengurus di beberapa daerah lainnya seperti NU Nganjuk di Kertosono, NU Klaten di Pengkol dan lain sebagainya. Hal tersebut menunjukkan, NU sudah terbentuk di wilayah Kabupaten tersebut, akan tetapi keberadaannya baru sebatas di daerah (kecamatan/desa) tertentu.


Sedangkan, pada tahun 1935, penyebutannya tak lagi Kroya, akan tetapi sudah menggunakan nama Cilacap. Namun, terkait kapan sebetulnya PCNU Cilacap berdiri serta susunan lengkap kepengurusannya, masih perlu dicari kepastiannya pada arsip SNO lainnya.


Kemudian, pada arsip Muktamar NU lainnya, penulis juga menemukan nama Minhadjul Adzkija' sebagai utusan dari PCNU Cilacap pada Muktamar NU di Magelang tahun 1939. Tercatat dalam daftar nama-nama utusan dari PCNU Cilacap: Minhadjul Adzkija', Asrodji, Baroesjamsi, Moechni (Syuriah). Moh. Moeqrie (tanf). Sodali, Moch. Sangkani (ANO), serta Mas'oedi, HM Afandi (pembantu)


Mengenai kiprah KH Adzkiya dan sejarah NU Cilacap ini, salah satu putra KH Adzkiya yang kini juga mengemban amanah sebagai Rais PCNU Cilacap, KH Su'ada Adzkiya menuturkan, ia pernah membaca catatan pendirian NU Cilacap pada tahun 1931. Kemudian, pada masa kecil dirinya juga seringkali mengikuti kegiatan NU bersama ayahnya.


"Pertama ngerti ada NU tahun 55 (1955, pen) di gedung Tjunghua Tjunghui acara Konferensi Cabang PCNU Cilacap. Sekarang di depan Rita Cilacap. Dari kabupaten ke arah selatan jurusan taman makam pahlawan,” tuturnya, seperti dikutip dari artikel NU Online berjudul PCNU Cilacap dan Gerakan Filantropi Nahdliyin Lewat Koin NU (2025).


Kesaksian Para Tokoh
Keberadaan KH Adzkiya sebagai tokoh sentral NU di Cilacap juga termuat dalam sejumlah catatan. Di antaranya dalam buku Berangkat dari Pesantren (LKiS, 2013), KH Saifuddin Zuhri menuturkan pengalamannya berjuang bersama KH Adzkiya.


"Kalau aku singgah di stasiun Kroya, biasanya Kiai Minhajul Adzkia sendiri yang menjemput dan mengantarku, sekalipun pukul 02.00 dini hari. Para tokoh NU Kroya, juga biasa ikut menemaninya di peron stasiun dan turut mengantarku ke tempat istirahat di rumahnya," tutur Kiai Saifuddin dalam bukunya tersebut. Terkait fragmen pertemuan keduanya, akan saya tulis dalam artikel yang lain.


Kemudian, dalam buku Kumpulan Kolom dan Artikel Abdurrahman Wahid: Selama Era Lengser (LKiS, 2002), KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) merekam perjalanan sang kakek, Allahyarham KH Bisri Syansuri, yang kerap kali meminta pendapat dari KH Adzkiya Kroya.


"KH. M Bisri Syansuri, ketika beliau menjadi anggota PBNU, dan praktis menguasai Majlis-Majlis Hukum Agama (Majaalis al-Fiqh) –sebelum beliau membawa pendapat-pendapatnya ke forum tersebut, beliau selalu pergi ke Yogyakarta, untuk memperdebatkannya dengan KH. Hadjid dari Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah. Terkadang mereka bisa berdebat selama tiga hari berturut-turut dan terkadang pula mereka bersama pergi ke rumah KH. Adzkiya di Kroya (Pak Tua Ir. Musthofa Zuhad, dari PBNU) untuk maksud yang sama. Baru setelah itu, KH. M. Bisri Syansuri memaparkan “pendapatnya” kepada forum-forum di atas, yaitu setelah melalui “uji-coba” dengan kedua orang tersebut."


Dari penuturan Gus Dur tersebut, maka sudah jelaslah kapasitas keilmuan KH Adzkiya yang wafat pada tahun 1986. Sepeninggal KH Adzkiya, Pesantren Miftahul Huda secara berturut-turut diasuh oleh KH Tarmidzi Affandi, KH Zainuddin, KH Hamam Adzkiya, dan KH Suada Adzkiya. Adapun santri putri (Pesantren Al-Hidayah) diasuh oleh Nyai Hj Mas’adah Machali.


Saat ini, pondok pesantren Miftahul Huda dan pondok pesantren putri Al-Hidayah mendidik sekitar 350-an santri dan diasuh oleh para putra KHM Minhajul Adzkiya, yaitu KH Hamam Adzkiya, KH Suíada Adzkiya, dan Hj Mas'adah Machali, juga KH. Mudatsir Mughni yang, dibantu oleh para pengurus dan dewan asatidz.


Dalam keterangan yang dimuat oleh laman mifdakroya, lebih kurang 75% santri mengikuti pendidikan formal baik SD, SLTP, dan SMA/SMK yang diselenggarakan oleh Yayasan Miftahul Huda Kroya dan di luar yayasan, seperti SMP Negeri, SMA Negeri, MAN, dan lain-lain. Sebanyak 25% lainnya, khusus mendalami kajian ilmu-ilmu keagamaan masuk di dalam Halaqah Diniyah, yang terdiri atas kelas persiapan (Iídad), kelas satu, dua, dan kelas tiga.