Nasional

MUI Lihat Unsur Mafsadat pada Fenomena Crosshijaber

Rab, 6 November 2019 | 15:45 WIB

Jakarta, NU Online
Crosshijaber atau laki-laki berhijab ramai diperbincangan di media sosial dalam beberapa hari terakhir ini. Istilah crosshijaber sendiri diambil dari cross-dressing, di mana seorang laki-laki memakai gaun (dress) dan berhias (make up).

Ketua Komisi Dakwah MUI Pusat, KH Cholil Nafis (Kiai Cholil), menegaskan, laki-laki menyerupai perempuan atau sebaliknya hukumnya haram. Mengutip hadits Nabi, Kiai Cholil menyebut kalau Allah melaknati laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki.

“Termasuk di dalam berpakaian,” kata Kiai Cholil kepada NU Online, Rabu (6/11).

Dia kemudian menduga, hal itu dapat saja dijadikan modus oleh para pelaku untuk melakukan tindakan kriminal. Dengan berpakaian perempuan, laki-laki tersebut dapat melakukan pencurian, memeluk perempuan, dan tindakan tidak benar lainnya.

“Kemungkinan juga mengacaukan terhadap berpakaian orang-orang yang sesuai dengan syariat agar orang tidak lagi berpakaian tertutup,” jelasnya.

Bagi Kiai Cholil, perilaku crosshijaber mengandung mafsadah atau kerusakan, tidak ada manfaatnya sama sekali. Oleh karenanya, aparat keamanan harus mengamankan seorang crosshijaber apabila itu berkaitan dengan tindak kriminal. Sementara jika dilihat dalam konteks hukum Islam, hukum laki-laki berpakaian ala perempuan adalah haram.

“Ketika itu berkenaan dengan hukum (Islam) tentu itu hukumnya pasti haram,” tegasnya. 

Sebelumnya, seorang warganet mengunggah keberadaan komunitas crosshijaber di media sosial. Dalam sebuah unggahan warganet, ada laki-laki berhijab, ada seorang pria memasuki masjid dengan hijab, dan ada juga unggahan yang menampilkan seorang laki-laki berhijab masuk ke toilet wanita. 

Tentu saja, hal itu membuat heboh banyak pihak. Khususnya wanita yang merasa resah dengan keberadaan komunitas tersebut, apapun itu motifnya. Mereka merasa khawatir soal batasan-batasan penggunaan ruang umum khusus untuk wanita, yaitu toilet atau tempat wudhu.
 

Pewarta: Muchlishon
Editor: Alhafiz Kurniawan