Nasional

Munas NU Rekomendasikan Produk Tembakau Alternatif

Jum, 1 Maret 2019 | 03:00 WIB

Munas NU Rekomendasikan Produk Tembakau Alternatif

Ketua PP Lakpesdam PBNU Rumadi Ahmad

Banjar, NU Online


Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama (Munas-Konbes NU) 2019 merekomendasikan produk tembakau alternatif. Hal itu ditempuh untuk menjawab kebutuhan Masyarakat Indonesia, terutama warga NU, yang sangat akrab dengan tembakau. Pasalnya, bukan saja karena banyak warga NU yang merokok, namun tak sedikit pula kehidupan ekonomi kaum Nahdliyin bergantung pada tembakau.


Demikian petikan hasil sidang Komisi Rekomendasi yang dibacakan Rumadi Ahmad selaku pimpinan komisi di hadapan peserta Sidang Pleno, Kamis (28/2). “Karena itu, kebijakan apapun yang ditempuh pemerintah terhadap persoalan tembakau akan berdampak baik langsung maupun tak langsung pada kehidupan Nahdliyin,” ujar Rumadi.


Di lain pihak, sambungnya, kini tembakau sudah menjadi industri yang mendatangkan pendapatan negara yang tidak kecil. Indonesia juga menjadi pasar produk tembakau yang luar biasa. Bukan hanya industri rokok dalam negeri, tapi juga banyak sekali perusahaan rokok dari berbagai negara yang menjadikan Indonesia sebagai pasar. Meski mendatangkan devisa negara, namun industri tembakau juga membawa dampak kesehatan.


“Industri rokok seolah hidup seperti pepatah disayang, tapi selalu ingin ditendang. Di satu sisi, mendatangkan devisa. Namun, di pihak lain dianggap merusak kesehatan,” terangnya.


Memperhatikan dua arus yang sama-sama kuat tersebut, kata Rumadi, penting dipikirkan untuk mendorong produk tembakau yang berisiko kesehatan lebih rendah dengan mengembangkan produk-produk alternatif. Konsep alternatif rokok atau produk tembakau yang berisiko lebih rendah sudah ditemukan pada tahun 1976 ketika Profesor Michael Russell menyatakan: “Orang merokok karena nikotin tetapi meninggal karena tar.”


“Karena itu, rasio tar dan nikotin dapat menjadi kunci menuju merokok yang berisiko kesehatan lebih rendah. Sejak saat itu, ditetapkan bahwa bahaya merokok hanya disebabkan oleh racun yang muncul akibat pembakaran tembakau. Sebaliknya, produk tembakau tanpa pembakaran dan produk nikotin murni dianggap lebih risiko bahaya jauh lebih rendah meski masih memiliki potensi menyebabkan adiksi/ketergantungan,” paparnya.


Beberapa negara seperti Jepang, AS, Inggris dan Uni Eropa menekankan perlunya membantu perokok untuk beralih ke produk alternatif yang lebih baik atau yang dampak kesehatannya berkurang, jika tidak bisa berhenti merokok. Negara-negara tersebut memberikan akses terhadap informasi mengenai produk tembakau alternatif yang lebih baik kepada publik dan memfasilitasi publik untuk dapat mengakses produk-produk ini. Negara-negara tersebut menganggap bahwa penelitian yang ada sekarang ini cukup untuk mendorong mereka mengadopsi prinsip tembakau berisiko rendah.


“Di Indonesia, produk tembakau berisiko rendah atau produk tembakau alternatif secara resmi oleh pemerintah. Sejak 2010, produk vape (lebih banyak dikenal sebagai rokok elektrik) semakin banyak bermunculan, dengan 466 varian tersedia di pasar dan jumlah pengguna serta peritel yang semakin banyak. Meski tidak ada peraturan atau status hukum produk tersebut,” jelasnya.


Selain itu, sulit untuk mendapatkan respon dari pemangku kepentingan industri tembakau mengenai keberadaan jenis produk ini. Pemerintah juga belum cukup terbuka untuk mengembangkan produk tembakau alternatif yang bisa mengurangi resiko merokok dengan dibakar. “Pemerintah, melalui Kementerian Kesehatan, seringkali masih menganggap sama saja antara produk tembakau yang dibakar dan tidak dibakar tanpa didasarkan pada riset yang memadai,” kata Rumadi. (Musthofa Asrori)