Menjelang harlah Muslimat NU ke-73 ini saya berusaha menggali catatan-catatan keluarga tentang keterlibatan nenek saya, Nyai Zainul Arifin dan tante-tante saya (termasuk ibu saya sendiri) dalam Muslimat NU. Karena sebagian besar sudah pada wafat, temuan saya lumayan terbatas.
Ibu Waperdam
Ibu Asmach Syahruni pernah bercerita bahwa Nyai Zainul Arifin sebenarnya ibu rumah tangga yang tidak terlalu aktif di Muslimat NU. Padahal tokoh-tokoh NU sering berkumpul di rumahnya di Jl. Cikini Raya 48 Jakarta Pusat.
Baru setelah Zainul Arifin menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri Kabinet Ali 1, Nyai Zainul yang bernama kecil Hamdanah kelahiran Semplak, Bogor pada 1912, mulai lebih banyak terlibat di Muslimat.
Hamdanah dipercaya sebagai Bendahara selama beberapa tahun. Setelah Zainul Arifin wafat, kedudukan Nyai Zainul sebagai Bendahara digantikan putri tertuanya, Siti Lies Adawiyah. Nah, catatan mengenai kegiatan Nenek dan Uak Lies di Muslimat tidak banyak saya ketahui.
Ibu saya sendiri, Siti Zuhara merupakan salah satu pendiri Muslimat cabang Bogor karena kami memang pernah tinggal di kota itu. Tetapi kemudian ibu bekerja di BUMN dan tidak banyak ikut kegiatan organisasi lagi. Baru setelah pensiun, akhir 1990an ibu bergabung lagi dengan Muslimat sebagai anggota Biro Luar Negeri.
Koperasi dan Program PBH
Yang paling lama dan masih bisa dicatat kegiatannya di Muslimat NU, tante saya lain lagi, Siti Zuraida Fatma yang dikenal ibu-ibu Muslimat dengan nama kecilnya Ibu Neneng. Berdasar keterangan putri Tante Neneng, Diah Zulfah, ibunya aktif di koperasi di bawah Ibu Djazuli Wangsasaputra dan Seksi
Pendidikan.
Salah satu program Koperasi yang dijalankannya adalah Program Dana Bergulir yang sistemnya mirip dengan Kredit Lunak. Konon, program ini berjalan baik dengan omzet yang cukup besar.
Tante Neneng juga mengembangkan program pemberantasan buta huruf bagi ibu-ibu pengajian. Tante sendiri ikut mengajar. (Ario Helmy)