Tadi pagi saya sangat malas malasan untuk bangun pagi. Biasa hari Sabtu semua keluarga ngumpul mulai dari anak cowok, anak cewek, keponakan, bibi cewek, istri. Semua lengkap. Ditambah lagi dengan anak tetangga. Belum lagi anak yang tidak saya kenal. Mereka kumpul di teras baca, ruang tamu hingga ke dapur. Sudah persis rumah jadi taman bermain. Hehehe.
Itulah yang membuat saya tenang tidur pagi dan tidak mau cepat cepat beranjak dari kasur. Anak-anak sudah main dengan anak tetangga. Hari terasa lega meski terkadang berisik dengar teriakan teman anak anak saya. Hari Sabtu yang sempurna sambil nutup kuping dengan bantal.
Beberapa menit hilang dari hingar-bingar anak kecil, hidung mencium aroma ikan asin digoreng. Subhanallah, subhanallah, hidung saya terasa di tarik untuk menghampiri dapur. Mata dipaksa melek. Perut pun mulai merasa lapar. Sungguh ilusi yang rasional. Hanya orang kampung yang bisa menterjemahkan bau ikan asin di goreng, orang kota mah tak mau.
Tidak menunggu lama, saya keluar kamar.
Astaghfirullahal adzim, ruang tamu berantakan dengan bermacam mainan bertaburan. Sementara pelakunya, anak-anak itu sudah hilang entah kemana.
Setalah ngambil nasi, ambil ikan asin, dan membawa teh manis yang sudah diseduh, saya langkah kan kaki menuju ke teras baca.
"Subhanallah, rasanya ikan asin ini luar biasa, seperti buatan nenek ku dulu. Nenek yang suka menyuapi saya sebelum dia pergi ke kebun belakang rumah."
Saya ngobrol dengan pikiran sendiri. Terbayang nenek yang sudah tiada sekitar 13 tahun lalu.
Terbayang dia selalu ngasih kabar bahwa nasinya sudah matang. Ngasih kabar bahwa ada kopi manis.Yang paling berkesan dan membuat saya kangen, dia menyuapi saya dengan tangannya. Nasi yang diumuk pakai tangganya lalu disuapkan ke mulut saya. Sungguh momen itu membuat saya rindu hingga saat ini.
Makan sambil maian HP di era di gital ini sudah lumrah. Kalau dulu, boro-boro makan sambil mainin sesuatu, sambil ngobrol aja dimarahi nenek.
"Kalau makan sambil ngobrol itu banyak setannya. Yang di makan tidak jadi daging."
Nenek bilang itu kata guru ngajinya dulu.
Beberapa detik, saya liat status WatshApp teman teman soal Harlah Muslimat NU ke 73. Saya langsung ingat pernah punya kartu tanda anggota NU milik nenek. Saya lupa anggota apa si nenek saya dulu, apa Fatayat atau IPPNU.
Saya langsung meninggalkan makan menuju lantai dua, mencari kartu anggota NU nenek di rak buku-buku kusam. Agak lumayan kesulitan karena buku sudah mulai berdebu. Alhamdulillah akhirnya yang saya cari ketemu.
Ternyata, nenek saya anggota Muslimat. Namun, saya tidak mengetahui kapan dia mulai menjadi anggota karena tidak ada keterangan tanggal masuknya.
Kartu itu ditandatangani Pucuk Pimpinan Ny. Hj Asmah Sjahruni. Setelah saya telusuri di Google, Nyai Asmah memimpin Muslimat NU dari 1979-1995.
Memang dulu nenek sempat berpesan, kalau mau zakat ke kiai NU. Kalau mau sedekah ke ustadz NU. Kalau panen raya coba kirim sebagain hasil panen ke kiai NU yang punya santri.
Terjawab sudah kenapa nenek selalu berpesan begitu karena dia anggota dari banom NU. Jadi, sangat mengedepankan datang ke kiai NU setiap ada masalah, masalah apa saja. Baik soal nama anak, soal panen, soal keluarga, soal nikahan hingga soal tahlil udah pasti yang di undang beliau beliau. Begitu orang tua dulu.
"Se penteng, bedeh dima'ah beih, kakeh guduh detdih oreng sebennder. Mon lah bennder pasti banyak oreng se nolong," pesannya di sela-sela panen jagung.
Ya begitulah nenekku dulu, selalu bilang, "Yang penting kamu jadi orang benar, kalau sudah benar pasti banyak orang yang nolong."
Alhamdulillah anak cewek saya suka ikan asin. Cuma anak cowok saya yang selalu minta makan pakai nageeet. Tekor bandaaar huhahhaha. Ini lagi mau goreng naget buat kakak Satria, dia mau makan.
"Sreng sreng sriing sriing," suara goreng naget.
Selamat dan sukses Harlah Muslimat NU ke-73. Nenek saya juga Muslimat NU. (Nur Ilham)