Nasional

NU Dukung Koruptor Dilarang Jadi Caleg

Sen, 16 April 2018 | 02:45 WIB

Jakarta, NU Online
Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) PBNU mendukung langkah Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang mempersiapkan Peraturan KPU (PKPU) yang salah satu isinya melarang koruptor menjadi calon anggota legislatif dalam berbagai tingkatan.

Ketua Lakpesdam PBNU Rumadi Ahmad menjelaskan, meskipun hal ini tidak diatur secara eksplisit dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, namun pengaturan yang melarang koruptor menjadi Caleg DPR/DPRD sama sekali tidak bertentangan dengan UU Pemilu.

“Bahkan, hal tersebut bisa dikatakan memperkuat spirit UU Pemilu dan semangat pemerantasan korupsi yang dikategorikan sebagai extra ordinary crime,” jelas Rumadi kepada NU Online, Senin (16/4) di Jakarta.

Bisa jadi norma ini sengaja dibalikan dalam UU Pemilu karena banyaknya anggota DPR/DPRD yang terjerat kasus korupsi. Karena itu, memperbolehkan koruptor menjadi caleg DPR/DPRD hanya karena tidak diatur dalam UU Pemilu sangat menciderai perasaan keadilan masyarakat.

“Orang-orang yang sudah melakukan korupsi, sudah dijatuhi hukuman yang berkekuatan hukum tetap, adalah orang yang nyata-nyata tidak bisa menjaga amanah, melakukan kejahatan,” ujar Rumadi.

Meski mereka sudah menjalani hukuman dan hak politiknya tidak dicabut, bukan berarti mereka bisa menduduki jabatan publik yang statusnya disamakan dengan warga negara yang tidak pernah melakukan kejahatan korupsi.

Pelarangan orang yang pernah terlibat dalam tindak pidana untuk menduduki jabatan publik tertentu merupakan hal biasa. 

Karena itu, DPR –terutama Komisi II- dan  pemerintah seharusnya memberi dukungan atas PKPU terkait dengan posisi koruptor ini. Hal ini penting untuk menunjukkan komitmen DPR dan pemerintah dalam pemberantasan korupsi.

Memberikan peluang bagi koruptor untuk menjadi Caleg DPR/DPRD, menunjukkan rendahnya komitmen pemberantasan korupsi, justru oleh Lembaga Negara yang seharusnya menjadi garda terdepan pemberantasan korupsi.

“Jika PKPU tersebut dianggap bermasalah karena membuat norma baru yang tidak ada dalam UU Pemilu, maka jalan yang bisa ditempuh adalah melakukan revisi terbatas UU Pemilu atau membuat Perppu,” terang Rumadi.

Namun, sambungnya, hal ini tampaknya sulit dilakukan jika tidak ada komitmen kuat dari anggota DPR maupun pemerintah, terutama Presiden. Lempar-melempar tanggung jawab bisa terjadi antara DPR dan Presiden. 

“Saya percaya anggota DPR dan pemerintah punya komitmen kuat pemberantasan korupsi. Karena itu, tidak selayaknya mereka dijadikan ‘alat’ atau bahkan ‘bersekongkol’ dengan para koruptor dengan memberi ruang bagi mereka menjadi wakil rakyat,” tegasnya.

“Apakah kita rela menyebut mereka sebagai ‘anggota dewan yang terhormat’ jika di dalamnya berisi mantan koruptor?” tutur Rumadi menegaskan.

Nadlatul Ulama, lanjutnya, mempunyai kepentingan besar terhadap persoalan ini, karena anggota legislatif merupakan wakil rakyat yang akan menjadi cermin masyarakat. Prinsip-prinsip dasar umat terbaik yang dikenal sebagai mabadi’ khairo ummah harus tercermin dalam kepribadiannya. 

Prinsip-prinsip tersebut antara lain as-shidqu (jujur), al-amanah wal wafa’ bil ‘ahdi (menunaikan amanah dan memenuhi janji), at-ta’awun (berjiwa gotong royong), al-‘adalah (bersikap adil), dan al-istiqamah (konsisten).

“Orang yang melakukan korupsi dan sudah divonis pengadilan adalah orang yang menciderai mabadi’ khaira ummah yang menjadi prinsip NU,” tandas Rumadi. (Red: Fathoni)