Surabaya, NU Online
Pada Rabu (22/5) lusa, Indonesia akan menghadapi peristiwa besar. Yakni pengumuman hasil penghitungan suara bagi calon wakil rakyat di semua tingkatan hingga pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Namun seperti yang diketahui khalayak, ada sebagian kecil kalangan yang sejak awal telah menyatakan tidak mengakui hasil penghitungan tersebut. Karenanya, Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur menggelar bahtsul masail khusus terkait hal ini.
“PWNU Jatim terpanggil mengkaji permasalahan ini sebagai wujud tanggung jawab amanah wathaniyah demi terjaganya stabilitas politik dan keamanan nasional serta baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur,” kata KH Syafrudin Syarif, Senin (20/5) petang.
Menurut ketua sidang bahtsul masail kebangsaan PWNU Jatim ini, setidaknya ada tiga pertanyaan yang dibahas pada sidang terbatas tersebut. Kemudian hasilnya disampaikan kepada beberapa wartawan di lantai dua Kantor PWNU Jatim, jalan Masjid al-Akbar Timur 9 Surabaya.
“Pertama, dalam perspektif fikih, bolehkah menolak hasil pemilihan umum dengan menyebarkan narasi yang mendelegitimasi KPU dan hasil pemilu, provokasi berdalih people power atau kedaulatan rakyat, provokasi revolusi, dan tindakan inkonstitusional lain,” ungkap kiai yang juga Katib PWNU Jatim ini.
Untuk pertanyaan kedua seputar hukum menolak hasil pemilu lewat pengerahan massa dengan dalih gerakan kedaulatan rakyat. “Apakah tindakan ini bisa dibenarkan menurut agama?” sergahnya.
“Sedangkan ketiga, bagaimana sikap terbaik dalam menghadapi provokasi gerakan mobilisasi massa untuk menolak hasil pemilu sebagaimana deskripsi masalah tersebut,” ungkapnya.
Dengan memperhatikan sejumlah literatur berupa ayat dan hadits, serta pandangan ulama yang terjabarkan dalam beberapa kitab kuning, maka majlis bahtsul masail memutuskan sebagai berikut.
“Terkait masalah pertama, maka tindakan penolakan terhadap hasil pemilu tidak diperbolehkan. Karena dalam penolakan hasil pemilu tersebut terdapat tujuan, tindakan atau dampak yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan atau syariat,” jelas Kiai Syafrudin yang ditunjuk sebagai juru bicara.
Demikian pula untuk jawaban atas pertanyaan kedua tidak dibenarkan. “Karena tindakan menolak hasil pemilu dengan pengerahan massa lewat dalih gerakan kedaulatan rakyat tersebut dapat mengarah pada tindakan makar, menyulut terjadinya konfik sosial, perang saudara, dan mengacaukan keamanan nasional,” ungkapnya.
“Sikap terbaik hendaknya menahan diri dan mengajak masyarakat untuk tidak terprovokasi oleh gerakan tersebut, serta mendukung penuh aparat keamanan untuk mengambil tindakan tegas sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku,” paparnya.
Keputusan ini telah dikukuhkan dalam SK: 209/PW/A-II/L/V/2019 di internal PWNU Jatim dan disebarkan kepada Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama se-Jawa Timur dan masyarakat luas.
“Bagi kalangan yang berkenan untuk membaca ulang kajian ini telah disertakan pula dasar referensi yang dijadikan sebagai pijakan pada bahtsul masail tadi siang,” terang Kiai Syafrudin.
Bahtsul masail kebangsaan dipimpin KH Ahmad Asyhar Shofwan dan sekretaris, Ustadz Ahmad Muntaha. Sedangkan yang bertindak sebagai perumus adalah 28 orang yang merupakan perwakilan dari unsur kiai, ulama, akademisi, ahli hukum dan PWNU Jatim.
Para perumus tersebut di antaranya, KH Anwar Iskandar, KH Syafruddin Syarif, KH Romadlon Khotib, Akh Muzakki, KH Muhammad Mughits, Syukron Dosi, KH Ahmad Asyhar Shofwan, KH M Ali Maghfur Syadzili, KH Syihabuddin Sholeh, K Ahmad Muntaha AM, dan lainnya. (Ibnu Nawawi)