Nasional

Pakar Linguistik Jelaskan Penyebab dan Dampak Ujaran Kebencian

Jum, 3 September 2021 | 04:30 WIB

Pakar Linguistik Jelaskan Penyebab dan Dampak Ujaran Kebencian

Ilustrasi ujaran kebencian di media sosial (Foto: NU Online)

Jakarta, NU Online

Fenomena dunia digital memunculkan jejak-jejak kebencian. Banyak orang terjerat kasus hukum karena tidak menyadari hal yang dilakukannya merupakan pelanggaran terhadap hukum. Hal itu disebabkan karena orang tersebut memiliki problem psiko kognitif.

 

“Tidak semua pelaku ujaran kebencian merasa melakukan kejahatan,” kata Makyun Subuki, pakar linguistik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta saat mengisi Webinar Kementerian Komunikasi dan Informatika bekerja sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) pada Kamis (2/9).

 

Dijelaskannya, orang selalu disadarkan dengan identitasnya. Misalnya seseorang yang menyebut dirinya Jawa atau Muslim. Di medio tahun 1990-an, pedagang di Jakarta menempelkan tulisan pengakuan sebagai Muslim dan Jawa dengan sajadah sebagai bukti lain untuk melindungi diri dari kerusuhan. Contoh lain, Makyun menyebut bom diledakkan di gereja tidak lain karena faktor identitasnya berbeda.

 

Selain itu, kata dia, ujaran kebencian disebabkan karena pelaku memiliki problem sosio antropologis. misalnya orang menghayati nilai-nilai tertentu dalam agama sehingga merasa bahwa dirinya melakukan ajaran agama.

 

Dikatakannya, kebencian yang dimiliki seseorang sering kali ingin dimiliki juga oleh orang lain. Tak pelak, media sosial menjadi ajang untuk berbagi kebencian. Hal ini biasanya akan berdampak pada polarisasi dengan adanya kutub A dan B karena selalu berkaitan dengan ideologi tertentu.

 

Makyun juga menjelaskan bahwa ujaran kebencian tak bisa lepas dari pendeskripsian positif terhadap diri sendiri dan negatif kepada pihak yang lain.  Ia mencontohkan, kelompoknya dicap nasionalis, sedangkan pihak lawan dianggap tidak cinta pada negara. Sementara ada juga yang memberi label dirinya agamis, sedangkan lawannya dicap tidak beragama.

 

Selanjutnya, ujaran kebencian juga berdampak pada pengotak-kotakkan ideologis. Orang lain yang tidak sepaham tentu akan dimasukkan dalam kategori-kategori yang berbeda dengan dirinya.

 

Oleh karena itu, untuk menghindari ujaran kebencian dan hoaks, Makyun menegaskan kepada para peserta agar tidak membagikan informasi apapun melalui media sosial. “Jangan pernah membagikan informasi apapun. Boleh tetapi harus tahu betul bahwa informasi tersebut benar,” kata akademisi alumni Pondok Pesantren Ash-Shiddiqiyah Kedoya, Jakarta Barat itu.

 

Selain itu, katanya, tidak perlu untuk memaksa orang lain untuk berpikiran hal yang sama. “Jangan pernah mengajak orang lain berpikir seperti Anda,” pungkasnya.

 

Pewarta: Syakir NF
Editor: Aiz Luthfi