Nasional JELANG MUKTAMAR KE-33 NU

Pameran “Matja” NU, Menyatunya Hati Pecinta Keindahan

Sel, 28 Juli 2015 | 06:00 WIB

Yogyakarta, NU Online
Pameran “Matja”; Membaca Seni Wali-wali Nusantara yang berlangsung 27-30 Juli Jogjakarta Nasional Museum (JNM) diikuti 50 perupa. Mereka berlatar belakang gaya, organisasi, latar belakang yang berbeda dan tentu saja menampilkan buah karya yang beragam.
<>
Menurut D Zawawi Imron, pada pembukaan pameran di halaman JNM Senin malam (27/7), mereka disatukan oleh hati yang sama-sama mencintai keindahan dan mereka berkeyakinan bahwa hidup itu sangat indah. “Tuhan maha indah dan sangat mencintai keindahan,” kata penyair berjuluk Celurit Emas tersebut.  

Ia menukil dalil yang diucapkan seorang filosof Lebanon yang mengatakan, barangsiapa dalam dirinya tidak mempunyai rasa keindahan, ia tidak bisa melihat hukum semesta itu sesuatu yang indah. Padahal dalam diri manusia diberi onderdil, piranti, untuk melihat keindahan. ”Itu penting dan harus diberi hak untuk hidup,” katanya.

Jika akal kita harus digunakana untuk berpikir, lanjut dia, maka kalbu kita, intuisi kita, harus diberi hak juga untuk untuk menikmati keindahan yang diberikan Tuhan di dunia ini.

Dalam tradisi pesantren, kata dia, keindahan itu dibagi dua. Ada keindahan mata kepala, ada keindahan mata batin. Orang pesantren diajarkan untuk tidak hanya melihat keindahan mata kepala saja, tapi jugamata batin.

“Keindahan subtansial bukan sekadar mawar merah yang tersiram embun di pagi hari, tapi mungkin juga seperti kata Luthfi Al-Manfaluti, seekor katak yang melompat di selokan kotor pun adalah keindahan bagi seorang yang melihat dengan mata batinnya, bahwa pada lompatan katak itu, ada kekuasaan Tuhan yang maha indah,” jelasnya.

Sementara sumber keindahan itu tidak keluar dari hati yang biasa, melainkan hati yang bersih dan jernih, hati yang bisa rumongso, yang tidak punya waktu untuk membenci, bermusuhan, memfitnah kepada orang lain.

Hati yang seperti itu merupakan sumber energi positif yang bisa melahirkan keindahan kedamaian sehingga dunia dalam keadaan indah. Jika semua tiap orang memiliki hati semacam itu, satu aku akan berdamai dengan aku yang lain. Kemudian aku yang lain itu berdamai pula dengan aku, aku, aku yang lain.

“Yang terbentuk kemudian adalah kita, yang seperti kata Sutardji Calzoum Bachri: yang tertusuk padamu, berdarah padaku,” pungkasnya. (Abdullah Alawi)