Nasional

PBNU: Tambang Tumpang Pitu Harus Dihentikan

Rab, 18 Juli 2018 | 13:15 WIB

Jakarta, NU Online
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), H Imam Aziz mengatakan, industri ekstraksi dan pertambangan menyebabkan kemadlorotan dan kerusakan yang jauh lebih besar dari pada kemanfaatan yang dihasilkan. Oleh karena itu, PBNU mengimbau pemerintah baik di tingkat daerah maupun pusat untuk mengevaluasi kembali industri pertambangan yang sedang berjalan dan menghentikan pemberian izin bagi industri pertambangan yang akan dilakukan.

Hal itu disampaikan Ketua PBNU, H Imam Aziz saat menerima kunjungan warga NU Banyuwangi yang terdampak industri pertambangan di kawasan Tambang Emas Gunung Tumpang Pitu, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi.

“Segala sesuatu yang merusak, seperti Tambang Tumpang Pitu tidak layak dilanjutkan dan dipertahankan lagi. Karena tidak layak apalagi untuk Pulau Jawa sebab penduduknya sangat padat dan daya dukung lingkungan tidak memenuhi,” ujar Imam Aziz di Gedung PBNU, Jakarta, Rabu (17/7). 

Imam Aziz melanjutkan bahwa jenis industri ekstraksi termasuk industri yang sudah seharusnya ditinggalkan. Selain itu, masalah yang dilahirkan oleh industri semacam ini sebenarnya klasik, yakni menarik kepentingan antara perusahaan dan pemerintah. Biasanya, kata dia, pemerintah berdalih bahwa industri semacam ini dapat menyediakan lapangan pekerjaan bagi warganya. “Harusnya pemerintah kan bisa mencari industri alternatif yang lebih kreatif untuk mensejahterakan warganya. Toh tanpa industri yang merusak seperti itu, warga tidak rugi apa-apa,” ujarnya.

Namun kemudian, Imam Aziz mengimbau pada warga agar melakukan perlawanan secara sistemastis misalnya dengan mengumpulkan data yang ilmiah. “Karena sudah kadung ada izin pertambangan maka perlu ada kajian yang lebih objektif. Teurtama mengenai kajian lingkungan hidupnya. Amdalnya juga harus ditinjau ulang, dan tentu saja dengan penilaian Amdal yang lebih objektif,” ujarnya.

Hal senada juga diungkapkan oleh Ketua PBNU, H Robikin Emhas. Menurutnya, perlawan terhadap korporasi semacam ini membutuhkan semangat juang yang tinggi dan konsolidasi lintas sektor yang banyak. “Berjuang mensyaratkan pengorbanan baik amwal (harta benda) wa anfusikum (dan jiwa-raga),” ujarnya.

Sebelumnya, sekitar pukul 15.00 Wib, belasan warga Banyuwangi mendatangi kantor PBNU untuk mengadukan nasibnya mengenai sengketa pertambangan Tumpang Pitu, Banyuwangi. Dalam kesempatan itu mereka juga meminta bantuan dari PBNU untuk mendukung perjuangannya dalam melawan keberadaan perusahaan tambang yang merugikan mereka.

“Kami ke sini karena kami warga NU walaupun tidak masuk ke dalam struktur NU. Kami mau minta bantuan dari jenengan-jenangan semua untuk melarang perusahaan yang merusak alam. Agama Islam kan melarang perusakan alam,” ujar Nur Hidayat, seorang petani yang terdampak aktivitas pertambangan. Ia mengaku bahwa kunjungan ini merupakan ikhtiyar yang setelah sejumlah usaha konsolidasi yang belum berbuah hasil positif. 

Tidak hanya petani, warga yang berprofesi sebagai nelayan juga mengeluhkan berkurangnya tangkapan ikan setelah keberadaan tambang tersebut. “Hasil tangkapan kami beda sekali dari dulu dan sekarang. Sebelum ada tambang hasil ikan bagus, kami sejahtera sebab terumbu karangnya mati. Sekarang ikannya geser ke tengah dan susah ditangkap,” ujar ketua nelayan Pancer, Pak Mat.

Sengketa pengelolaan tambang emas dan tembaga di Tumpang Pitu, Banyuwangi, Jawa Timur mencuat sejak beberapa tahun terakhir. Sejumlah warga Banyuwangi yang mengaku terdampak melakukan konsolidasi ke Jakarta untuk mendapat bantuan dari sejumlah pihak, termasuk ke PBNU. (Ahmad Rozali/Zunus)