Nasional

Pemerintah Didorong Kembangkan Teknologi di Pilkada Serentak 

Ahad, 20 September 2020 | 18:00 WIB

Pemerintah Didorong Kembangkan Teknologi di Pilkada Serentak 

Sekjend Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra) Misbah Hasan mengusulkan kepada pemerintah agar bisa mengembangkan teknologi dalam memilih pemimpin di Pilkada serentak ini. (Foto: sinar keadilan)

Jakarta, NU Online
Sekjend Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra) Misbah Hasan menyatakan bahwa Pilkada serentak 2020 harus ditunda pelaksanaannya. Sebab, ada beberapa pertimbangan yang harus diperhatikan.

 

Pihaknya mengatakan sepakat dengan kebijakan PBNU untuk menunda Pilkada 2020 ini dengan berbagai pertimbangan. "Terutama soal kemanusiaan dan prediksi akan banyaknya korban jika Pilkada tetap diselenggarakan,” kata Misbah dalam talkshow Peci dan Kopi di Kanal Youtube 164 Channel, Ahad (20/9).

 

Jika Pilkada serentak ini tetap diselenggarakan maka yang perlu dipikirkan adalah soal bagaimana tata cara pemilihan. Ia mengusulkan kepada pemerintah agar bisa mengembangkan teknologi dalam memilih pemimpin di Pilkada serentak ini.

 

“Pilkada kita sangat ketinggalan di dalam penggunaan teknologi. Padahal sudah banyak platform digital yang sangat maju. Maka pelaksanaan Pilkada sudah seharusnya tidak dilakukan secara manual,” tutur Misbah.

 

Penggunaan teknologi tersebut, menurutnya, menjadi salah satu jalan keluar dalam mengantisipasi pandemi yang jika Pilkada secara manual tetap dilakukan maka akan ada semacam ‘bom atom’ atau ledakan jumlah korban terpapar Covid-19.

 

“Kalau kita sering bercanda, ini akan menjadi klaster demokrasi. Jadi, klaster baru demokrasi ini akan sangat mengerikan,” katanya, berkelakar.

 

Menyoal anggaran untuk Pilkada

Sejak awal, ia mengaku sudah berkeberatan dengan penyelenggaraan Pilkada di tengah pandemi ini. Terlebih jika dilihat dalam sudut pandang anggaran. Pemerintah Indonesia saat ini, kata Misbah, sedang mengalami kontraksi anggaran yang sangat dalam.

 

“Terutama dari aspek pendapatan negara yang turun sangat drastis. Dari 2600 triliun lebih, menjadi 1600-an triliun. Sedangkan defisit anggaran sekitar 1000 triliun. Jadi kontraksi APBN kita sangat luar biasa,” tambah Misbah.

 

Selain itu, ia juga menyoroti soal beban anggaran penyelenggaraan Pilkada serentak tahun ini. Menurutnya, APBD di setiap daerah memiliki kapasitas fiskal yang beragam. Di daerah pun dikenai ketentuan untuk mengalokasikan anggaran sekitar 50 persen untuk belanja barang jasa dan 50 persen lainnya untuk belanja modal.

 

“Hampir 380 daerah tidak mampu menyediakan anggaran itu. Oleh karena itu kemudian Kementerian Keuangan menurunkan persentase 50 persen menjadi sekitar 30 persen anggaran untuk penanganan Covid-19,” ungkap Misbah.

 

Ia menilai pemerintah daerah kebingungan untuk mengalokasikan anggaran untuk penanganan Covid-19, yang semula dipredikasi akan turun pada Juli hingga September ini. Namun ternyata, gelombang Covid-19 mulai muncul kembali akhir-akhir ini.

 

“Sekarang yang terpapar Covid-19 sudah masuk ke angka empat ribu. Ini di luar prediksi Gugus Tugas Covid-19, Presiden, dan para ahli sekalipun. Ini sangat mengkhawatirkan,” kata Misbah.

 

Di aspek lain, lanjutnya, ada masalah di dalam partisipasi masyarakat. Menurutnya, jika Pilkada serentak ini tetap dilaksanakan di tengah pandemi maka akan muncul kekhawatiran masyarakat untuk datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS).

 

“Kemudian akan kendala dalam aspek pengawasan. Selama ini, masayrakat sipil banyak melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pilkada. Terutama soal penyimpangan suara dan aspek politik uang. Ini akan terkendala jika Pilkada di tengah pandemi tetap dilakukan,” jelas Misbah.

 

Soal anggaran jika Pilkada ditunda

Menurut Misbah, anggaran-anggaran yang dikelola KPU sekitar 2,1 triliun bisa digunakan untuk persiapan-persiapan yang lebih mengedepankan teknologi. Jadi, penyelenggara Pilkada serentak ini harus memikirkan bagaimana pola partisipasi publik dalam memilih dengan menggunakan basis teknologi.

 

Di samping itu, kalau ada anggaran tersisa yang tidak digunakan maka bisa dialokasikan untuk penanganan Covid-19. Terutama bagi daerah-daerah zona merah, yang sekarang ini juga kesulitan dalam mengalokasikan anggaran.

 

Sebab, menurut Misbah, anggaran-anggaran yang ditransfer oleh pemerintah pusat juga menurun sangat drastis. Selain itu, Pendapatan Asli Daerah (PAD) sangat terganggu saat pandemi ini. 

 

“Jadi yang kemarin prioritas PAD itu berasal dari pariwisata, sekarang jadi anjlok. PAD sangat berkurang drastis. Maka lebih baik, anggaran yang ad aitu diprioritaskan untuk penanganan Covid-19 terlebih dulu,” pungkas Misbah.

 

Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Kendi Setiawan