Nasional

Pemerintah Pusat Perlu Evaluasi Sistem Zonasi untuk Penerimaan Siswa Baru

Kam, 20 Juni 2019 | 12:05 WIB

Jakarta, NU Online
Koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji menanggapi pemberlakuan sistem zonasi untuk Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) secara nasional. Ubaid menilai pemerintah tampak memaksakan dalam menerapkan kebijakan sistem zonasi di tengah kesenjangan kualitas sekolah yang terjadi di lapangan.

Ia mengapresiasi niat baik Kemendikbud melalui sistem zonasi PPDB yang dituangkan dalam Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018 tentang PPDB berbasis zonasi. Tetapi semangat itu belum dapat dilaksanakan karena distribusi tenaga pendidik berkualitas tidak merata di samping beberapa persoalan ketidaksiapan lainnya.

“Zonasi yang digagas oleh pemerintah pusat ini secara konseptual bagus, tapi pertanyaannya adalah apakah kualitas sekolah sudah merata di daerah? Bagaimana komitmen atau political will pemda dalam pemerataan mutu sekolah?” kata Ubaid kepada NU Online, Kamis (20/6) siang.

Menurutnya, pertanyaan tersebut harus dijawab terlebih dahulu. Distribusi tenaga didik yang bermutu harus merata pada sekolah-sekolah di daerah. Pemerintah daerah juga harus memiliki perhatian terhadap persoalan ini.

“Sistem zonasi itu terlalu dipaksakan oleh pusat sehingga bikin kisruh di daerah. Kebijakan itu timpang dan tidak sinkron antara apa yang dikehendaki pemerintah pusat dengan yang terjadi di daerah selaku implementor kebijakan tersebut,” kata Ubaid.

Ia menambahkan bahwa Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018 tentang PPDB berbasis zonasi perlu dikawal dengan kebijakan lain dalam rangka persiapan dan pemulusan jalan implementasinya.

“Zonasi ini akan positif jika dibarengi dengan kebijakan lain soal pemerataan kualitas sekolah. Selama kualitas sekolah satu sama lain masih terjadi kesenjangan, maka zonasi sulit untuk diterapkan,” kata Ubaid.

Ia juga menawarkan alternatif lain. Menurutnya, kebijakan sistem zonasi diberlakukan secara bertahap dalam implementasi persentase zonasi. Ia menyayangkan penerapan paksa kebijakan ini secara merata di tengah kesiapan sekolah yang berbeda-beda.

“Sekarang ini kan dipukul rata. Semuanya harus menerapkan zonasi 90%. Ini juga bisa dilakukan scara bertahap, misalnya 50% dulu dan seterusnya. Ini juga diberlakukan berdasarkan kesiapan sekolah-sekolah di daerah,” kata.

Di samping itu, penting juga koordinasi dan sinergi antara Kemendikbud, Kemenag, dan Kemendagri. Ini hajatan bersama tetapi tampaknya masing-masing instansi berjalan sendiri-sendiri. Akibatnya masyarakat menjadi bingung dan terjadi kegaduhan di lapangan. 

“Yang lain, kebijakan zonasi ini juga harus diikuti dengan kebijakan lain terkait pemerataan mutu guru dan kualitas sekolah. Jika tidak, kisruh akan terus terulang,” kata Ubaid.

Ia mengatakan bahwa kebijakan sistem zonasi ini sudah berjalan tiga tahun dan selalu bikin kisruh ketika penerimaan siswa baru. Ia meminta pemerintah pusat untuk mengevaluasi kebijakan ini untuk mencari masalah utamanya dan pemecahan atas permasalahannya.

“Menurut saya, penerapan zonasi ini harus dilakukan secara bertahap berdasarkan kesiapan daerah. Untuk daerah yang sudah siap dan kualitas sekolah yang sudah merata, bisa diberlakukan. Untuk daerah yang belum siap, ya ditunda dulu. Harus disiapkan dulu segala kebutuhannya,” kata Ubaid.

Sebagaimana diketahui, kekisruhan terjadi di sejumlah tempat terkait implementasi Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018 tentang PPDB berbasis zonasi. Kekisruhan terjadi di Yogyakarta, Surabaya, Malang, Jawa Barat, Banten, dan sejumlah daerah lain di Indonesia. (Alhafiz K)