Peneliti AWCPH: Tanpa Kualitas Moral, Kehidupan Politik Menjadi Srigala
NU Online · Rabu, 30 Januari 2019 | 06:30 WIB
Presiden Keempat Indonesia KH Abdurrahman Wahid rela mundur dari jabatannya sebagai orang nomor satu pada 23 Juli 2001 setelah dimakzulkan dengan cara inkonstitusional. Pelbagai tuduhan anggota dewan perwakilan rakyat terhadapnya sama sekali tidak terbukti.
Namun, Gus Dur melenggang keluar istana pada pukul 20.50 WIB dengan mengenakan kaos dan celana pendek sembari melambaikan tangannya ke para pendukungnya dan meminta mereka segera pulang.
Toni Doludea, peneliti ahli Abdurrahman Wahid Center for Peace and Humanities (AWCPH) Universitas Indonesia, melihat tindakan Gus Dur tersebut merupakan tindakan seorang Parrhesiast.
“Parrhesiast adalah tindakan bicara bebas tentang kebenaran dengan polos dan jujur, melakukan kritik terhadap diri sendiri dan orang lain untuk mengembangkan diri sendiri dan orang lain meskipun mengandung bahaya atas dirinya,” katanya mengutip penjelasan Michelle Foucault, saat diskusi bertema Parrhesiast: Gus Dur dan Foucault di Pojok Gus Dur, Gedung PBNU lantai 1, Jalan Kramat Raya 164, Jakarta, Selasa (29/1).
Lebih lanjut, Bang Dul, sapaan akrabnya, menyampaikan bahwa parrhesiast atau orator yang baik itu mampu mengkritik, mendidik, dan mengubah kehendak masyarakat menjadi kepentingan bersama untuk kebaikan dan kemaslahatan.
Oleh karena itu, ia menilai seorang parrhesiast penting bagi suatu bangsa. “Seorang parrhesiast adalah pribadi yang memiliki kualitas kebijakan moral yang sangat penting dan dibutuhkan bagi kehidupan politis dalam sebuah negara,” ujarnya.
Namun hari ini, lebih banyak muncul lawannya, yakni demagog. Mereka menggunakan kebencian, kefanatikan, keburukan untuk memperoleh kekuasaan. Padahal, menurutnya, kualitas moral itu sangat penting bagi dunia kehidupan berpolitik.
Tanpa kualitas moral, lanjutnya, kehidupan politik menjadi serigala. Sementara jika menggunakan kebajikan moral, politik justru memiliki kualitas ketuhanan.
“Kita melayani orang lain sebagaimana kita melayani Tuhan sendiri. Itu sebenarnya politik,” tegas penulis buku Ontologi itu.
Karenanya, tanggung jawab seorang parrhesiast itu memperhatikan serta merawat diri sendiri dan orang lain. Hal itu terwujud dalam mengajar, berkhotbah, dialog atau diskusi, dan teladan hidup yang mengantar orang mengubah hidupnya sendiri.
Pada akhirnya, Foucault, kata Bang Dul, menegaskan bahwa parrhesiast adalah proses penguasaan diri yang menuntut usaha dan pengorbanan mengingat akan banyaknya rintangan dan kesulitan yang dihadapi.
Gus Dur berkorban dengan lebih memilih untuk meletakkan jabatannya ketimbang harus melihat darah saudaranya menetes.
"Gus Dur memandang bahwa tidak ada jabatan di dunia ini yang perlu dipertahankan mati-matian, apalagi orang lain yang mati untuknya,” katanya.
Jika dunia Yunani Kuno memiliki seorang parrhesiast bernama Sokrates dengan semangkok hemlock-nya, maka Indonesia punya Gus Dur.
“Negeri ini pernah menyaksikan Gus Dur dengan kaos dan celana pendeknya, melambaikan tangan, sebagai the truth teller (penyampai kebenaran). Karena hidup manusia adalah aletheia, ketersingkapan dan truth telling,” pungkasnya. (Syakir NF/Muhammad Faizin)
Terpopuler
1
Tim TP2GP dan Kemensos Verifikasi Pengusulan Kiai Abbas sebagai Pahlawan Nasional
2
Rais Aam Sampaikan Bias Hak dan Batil Jadi Salah Satu Pertanda Kiamat
3
Atas Dorongan PBNU, Akan Digelar Jelajah Turots Nusantara
4
Khutbah Jumat Bahasa Jawa: Keutamaan & Amalan Istimewa di Hari Asyura – Puasa, Sedekah, dan Menyantuni Yatim
5
Jejak Mbah Ahmad Mutamakkin, Peletak Dasar Keilmuan, Pesantren, dan Pemberdayaan Masyarakat di Kajen
6
Pangkal Polemik ODOL Kegagalan Pemerintah Lakukan Tata Kelola Transportasi Logistik
Terkini
Lihat Semua