Nasional

Pengamat Sosial UI Beberkan Tantangan Gerakan ‘Diam di Rumah’

Kam, 26 Maret 2020 | 20:00 WIB

Pengamat Sosial UI Beberkan Tantangan Gerakan ‘Diam di Rumah’

Kegiatan warga Jakarta (Foto: Suwitno/NU Online)

Jakarta, NU Online

 

Di sejumlah negara, termasuk Indonesia, kampanye social distancing yang bertujuan untuk menghentikan sebaran virus corona tidak sepenuhnya berhasil. Negara seperti Amerika Serikat dan sejumlah negara lain di Eropa juga mendapat hambatan dalam mengendalikan masyarakat untuk tidak melakukan aktivitas sosial bersama-sama di ruang publik.

 

Pengamat sosial dari Universitas Indonesia, Devie Rahmawati menyebut ada sejumlah faktor yang menjadi tantangan dalam melakukan gerakan sosial ‘Diam di Rumah’. “Ada tiga faktor yang menyebabkan kampanye ini tidak sepenuhnya diikuti oleh masyarakat yaitu faktor sosial, kultural dan spiritual,” kata Devie Rahmawati di Jakarta, Kamis (26/3).

 

Ia menjelaskan, secara sosial, masyarakat Indonesia merupakan masyarakat komunal yang kerap meletakkan kepentingan kepentingan sosial di atas kepentingan individual. Hal ini, menurutnya, membuat kedekatan sosial begitu erat dan menyebabkan kedekatan fisik kerap terjadi dengan mudah.

 

Oleh karena itu, lanjutnya, social distancing, cenderung bertolak dengan kebiasaan masyarakat yang sangat komunal. “Saya melihat physical distancing menjadi lebih relevan. Karena hanya fisiknya yang berjarak, namun komunikasi sosial dapat terus dilangsungkan melalui berbagai saluran,” lanjut Devie.

 

Penyebab secara kultural yang dimaksud Devie adalah, masyarakat Indonesia cenderung masuk dalam kategori budaya short term society, yaitu masyarakat jangka pendek. Di mana masyarakat Indonesia tidak terbiasa melakukan berbagai persiapan untuk menghadapi masa depan.

 

“Berbeda dengan masyarakat Barat yang sangat sistematis, dan terbiasa melakukan perencanaan tentang berbagai hal. Masyarakat kita terbiasa dengan hidup di masa sekarang, yang termanifestasi misalnya dari berbagai ungkapan seperti ‘Yah gimana nanti aja’,” tambah Devie.

 

Faktor ketiga yaitu faktor spiritual yang kuat. Faktor ini membuat masyarakat kita memiliki keyakinan bahwa segala sesuatunya sudah diatur oleh kekuatan lain. Sehingga masyarakat kita cenderung pasrah terhadap segala tantangan kehidupan.

 

“Ini yang kemudian membuat mereka tetap yakin bahwa kalau mereka tetap berada di ruang publik, selama belum takdirnya untuk menghadap Yang Maha Kuasa, maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” seru Direktur Kemahasiswaan UI ini.

 

Diditambah lagi, ketiga faktor tersebut berkaitanan dengan faktor ekonomi. Karena bagi Devie, sulit bagi masyarakat kalangan bawah untuk berdiam diri, mengingat ketergantungan nasib pada pendapatan harian.

 

“Bila sehari saja mereka tidak melakukan aktivitas, otomatis mereka tidak dapat hidup hari ini. Beda lagi dengan kalangan menengah ke atas, yang karena kepemilikan harta yang cukup, mereka merasa yakin bahwa mereka dapat mempersenjatai dirinya dengan berbagai suplemen terbaik, sehingga mereka juga terus berada di luar rumah,” ujarnyaDevie.

 

Oleh sebab itu, ia mengatakan dibutuhkan pendekatan struktural yang tegas, dengan memberikan insentif tertentu bagi kalangan masyarakat ekonomi terbawah.

 

“Masyarakat kita merupakan masyarakat insentif. Pendekatan persuasif dengan menyatakan bahwa bila seseorang tetap berada di rumah lalu mendapatkan tunjangan harian misalnya, saya optimistis, dapat membuat masyarakat patuh,” pungkasnya.

 

Editor: Ahmad Rozali