Nasional

Pentingnya Parenting untuk Tekan Angka Perkawinan Anak menurut Alissa Wahid

Ahad, 23 September 2018 | 16:55 WIB

Jakarta, NU Online
Angka perkawinan anak masih sangat tinggi di Indonesia. Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan BPS pada 2015 juga menyebutkan, di antara perempuan pernah kawin usia 20-24 tahun, 22,82 persen dari mereka menikah sebelum usia 18 tahun. Sulsel adalah satu provinsi terparah di mana terdapat 720 kasus pernikahan anak di Sulsel sepanjang Januari-Agustus 2018. 

Tingginya angka perkawinan anak, Putri Gus Dur Alissa Wahid menjelaskan bahwa perkawinan anak kerap dijadikan jalan keluar bagi kenakalan remaja atau jalan keluar atas kasus kehamilan di usia anak akibat pergaulan bebas misalnya.

Menurut Alissa, menikahkan anak yang terjerat masalah hamil di luar nikah tidak dapat dibenarkan tanpa memberikan pendampingan yang mencukupi bagi si anak. Sebab anak yang menikah belum memiliki kesiapan mental dan pengetahuan untuk menjadi ibu, dan ia terancam menghadapi bully-an atau perundungan dari lingkungan sekitarnya.

Pemaksaan nikah muda tanpa pendampingan justru beresiko mengakibatkan masalah lain yang lebih besar seperti kekerasan dalam rumah tangga, kemiskinan dan ancaman perceraian. Pendampingan yang ia maksudkan adalah pendampingan agar mereka mendapatkan hak untuk terus melanjutkan pendidikan, mendapat pendampingan kesehatan, dan pendampingan psikkologis yang dibutuhkan.

“Menikahkan saja tidak akan menyelesaikan semua urusan. Harusnya tidak berhenti di situ. Harusnya mereka didampingi semua aspek kehidupannya, pendidikan, kesehatan, dan keduanya harus didampingi supaya bisa lebih matang. Sampai nanti mereka di atas 21 tahun,” kata sekretaris Lembaga Kemaslahatan Keluarga NU ini kepada NU Online, di Jakarta, Sabtu (22/9).

Alissa menjelaskan, korban utama dari pernikahan anak tanpa pendampingan adalah ibu dan terutama si anak. Dalam kondisi semacam itu, si anak dapat terancam terkena masalah seperti stunting mengingat sang ibu belum memiliki kesiapan untuk hamil baik kesiapan reproduksi dalam hal mental dan pengetahuan. 

Lebih jauh, tingginya angka pernnikahan anak dapat ditekan dari level domestik keluarga dengan memberikan perhatian dan pendidikan dini pada anak. Pendidikan tersebut kelak akan mejadi benteng bagi si anak untuk menghadapi pergaulan di luar lingkungan keluarganya.

Walaupun ia tak memungkiri besarnya godaan pergaulan bebas, namun menurutnya masalah eksternal seperti itu dapat diantisipasi dengan menguatkan mental anak dari lingkungan terkecilnya yakni keluarga.

“Orang menyalahkan pergaulan dari luar. Tapi bukan itu masalahnya. Maslahnya adalah anaknya tidak disiapkan untuk menghadapi godaan itu. Initinya, kuncinya ada di orang tua. Bahwa semua orang tua saat ini menjadi kunci apakah anak-anaknya akan berkembang atau tidak,” paparnya.

Dengan dibekali pendidikan yang cukup, baik dari orang tuanya atau dari guru-gurunya, Alissa yakin si anak akan mampu menghadapi tantangan dari lingkungannya dan terhindar dari pernikahan usia anak. (Ahmad Rozali)