Pentingnya Pelibatan Pesantren dalam Peradilan Pidana Anak
NU Online · Rabu, 19 Oktober 2016 | 11:16 WIB
Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak mengamanatkan penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum di luar peradilan pidana. Penelitian yang dilakukan oleh peneliti Persada UB pada tahun 2012 menemukan bahwa kurang optimalnya diversi terhadap pelaku anak disebabkan belum adanya integrasi di antara aktor dalam sistem peradilan pidana anak.
Penyidik kepolisian dalam tahapan penyidikan perkara anak memiliki keterbatasan dalam menentukan model diversi atau pengalihan penyelesaian hukum dalam perkara anak. Akibatnya penyelesaian perkara pidana dengan pelaku anak masih didominasi dengan penyelesaian ganti rugi dan pengembalian kepada orang tua. Diversi bentuk lain seperti kerja sosial dan pendidikan tidak bisa dijalankan karena ketiadaan integrasi dengan pemerintah daerah dan lembaga terkait..
Bertempat di Universitas Brawijaya Malang, Jawa Timur, Selasa (18/10), Pusat Pengembangan Riset Sistem Peradilan Pidana Universitas Brawijaya Malang (Persada UB) menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) dengan tujuan untuk menyamakan persepsi dan mencari formula yang untuk menyelesaikan permasalahan ini. Hadir dalam FGD ini menghadirkan Kasat Reskrim Polresta Malang, peneliti Persada UB, Psikolog, Pengurus PBNU dan Ketua Penggerak PKK Kota Batu.
Dalam paparananya, PBNU Robikin Emhas menyatakan, setidaknya terdapat 23.000 pesantren di Indonesia di mana 18.000 di antaranya terafiliasi dengan Nahdlatul Ulama. Potensi ini dapat dimanfaatkan untuk proses diversi anak berbasis pendidikan akhlak. Aura positif atau berkah akan membantu anak sebagai pelaku tindak pidana dalam memperoleh keseimbangan batin untuk menata hidupnya.
Menurutnya, model pesantren NU yang telah ada sebenarnya dapat digunakan dalam melaksanakan alternatif diversi berbentuk pendidikan, namun akan lebih baik lagi jika terdapat pesantren yang khusus didesain untuk pelaksanaan diversi ini.
Desain pesantren tersebut dirancang dengan sejumlah inovasi antara lain pelibatan ustadz dan ustadzah yang sekaligus menjadi konselor dengan proporsi antara jumlah santri dan pengasuh harus berimbang.
âAda terapi fisik dan psikis dengan cara pesantren. Ada kelas-kelas kecil berkala untuk problem solving dalam kelompok yang ditangani ahli tetap dengan menyertakan orang tua atau kerabat dekat dalam beberapa terapi untuk persiapan reintegrasi sosial nantinya,â jelas ketua PBNU bidang hukum ini.
Fachrizal Afandi, Koordinor Eksekutif Persada UB yang juga Ketua PCINU Belanda ini, mengatakan, salah satu tujuan FGD ini adalah untuk menjaring data dari para pemangku kepentingan dan memformulasikan bentuk diversi pendidikan dengan menggandeng pemerintah daerah dan pesantren. Hal ini dilakukan agar diversi tidak sekadar menjadi formalitas agar tidak masuk proses pidana namun juga dapat menjadi treatment yang baik baik anak yang melakukan tindak pidana.
âApalagi telah ada Nota Kesepahaman Bersama antara Kepolisian Negara Republik lndonesia dengan Nahdlatul Ulama Nomor: B/42/X1/2016 dan Nomor: 841/A.II.03/09/2016, pada tanggal 1 Desember,â tuturnya. Harapanya dari FGD ini dapat diformulasikan model pelibatan pesantren dalam sistem peradilan pidana anak. (Red: Mahbib)
Terpopuler
1
Gus Yahya Sampaikan Selamat kepada Juara Kaligrafi Internasional Asal Indonesia
2
Menbud Fadli Zon Klaim Penulisan Ulang Sejarah Nasional Sedang Uji Publik
3
Guru Didenda Rp25 Juta, Ketum PBNU Soroti Minimnya Apresiasi dari Wali Murid
4
Khutbah Jumat: Menjaga Keluarga dari Konten Negatif di Era Media Sosial
5
PCNU Kota Bandung Luncurkan Business Center, Bangun Kemandirian Ekonomi Umat
6
Rezeki dari Cara yang Haram, Masihkah Disebut Pemberian Allah?
Terkini
Lihat Semua