Nasional

Politik Uang dan SARA, Dua Hal Perusak Demokrasi

Sab, 6 Januari 2018 | 01:01 WIB

Politik Uang dan SARA, Dua Hal Perusak Demokrasi

Ilustrasi (beritasatu).

Jakarta, NU Online
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mencatat mekanisme demokrasi yang selama ini dipraktikkan oleh para politisi justru telah menghasilkan dua ekses yang merusak demokrasi, politik uang dan SARA.
 
Hal itu disampaikan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj saat menyampaikan muhasabah 2017 dan resolusi kebangsaan 2018, Rabu (3/1) lalu di kantor PBNU Jakarta.

Menurut Kiai Said, keduanya (politik uang dan SARA) adalah bentuk kejahatan yang terbukti bukan hanya menodai demokrasi, tetapi mengancam Pancasila dan NKRI. 

“Jika politik uang merusak legitimasi, maka politik SARA merusak kesatuan sosial melalui sentimen primordial yang mengoyak anyaman kebangsaan yang telah susah payah dirajut oleh para pendiri bangsa,” tegas kiai kelahiran Kempek, Cirebon ini.

Ia menegaskan, perhelatan Pilgub DKI Jakarta 2017 masih menyisakan noktah hitam bahwa perebutan kekuasaan politik dapat menghalalkan segala cara yang merusak demokrasi dan menggerogoti pilar-pilar NKRI. 

Pengalaman ini, menurutnya, harus menjadi bahan refleksi untuk mawas diri. Demokrasi harus difilter dari ekses-ekses negatif melalui literasi sosial dan penegakan hukum. Masyarakat perlu dilibatkan secara aktif dalam penyelenggaraan demokrasi yang sehat tanpa politik uang dan sentimen primordial.

“Aparat penegak hukum harus kredibel dan andal dalam penegakan hukum terkait kejahatan politik uang dan penggunaan sentimen SARA. Ini penting karena pada tahun 2018 dan 2019, Indonesia akan memasuki tahun-tahun politik,” terang Kiai Said.

Tahun 2018 akan digelar Pilkada serentak di 171 daerah. Tahun 2019 akan digelar hajatan akbar yaitu Pilpres dan Pileg serentak. “Bercermin dari kasus Pilkada DKI, kontestasi politik dapat mengganggu kohesi sosial akibat penggunaan sentimen SARA, penyebaran hoax, fitnah, dan ujaran kebencian,” jelasnya.

Dan ini, lanjut Kiai Said, semakin parah karena massifnya penggunaan internet dan media sosial. PBNU perlu menghimbau warganet agar bijak dan arif menggunakan teknologi internet sebagai sarana menyebarkan pesan-pesan kebaikan dan perdamaian, bukan fasilitas untuk menjalankan kejahatan dan merancang permusuhan.

“PBNU mengakui dan menegaskan demokrasi adalah pilihan terbaik sebagai sistem penyelenggaraan kehidupan berbangsa yang majemuk. Mekanisme dan kelembagaan demokrasi telah berjalan dan sampai ke titik yang tak bisa mundur lagi,” tandasnya. (Fathoni)