Nasional MUNAS-KONBES NU 2019

Publikasi Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak Mencuat dalam Bahasan RUU PKS

Kam, 28 Februari 2019 | 09:45 WIB

Publikasi Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak Mencuat dalam Bahasan RUU PKS

Komisiner KPAI, Ai Maryati Sholihah

Kota Banjar, NU Online
Perdebatan tentang publikasi bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak cukup mencuat dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual pada forum Komisi Bahtsul Masail Qanuniyah di Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar Citangkolo, Kota Banjar, Jawa Barat, Kamis (28/2).

Salah satu musyawirin (peserta musyawarah), Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Ai Maryati Sholihah mengaku pihaknya sudah berupaya dari aspek hukum agar pelaku kekerasan seksual, seperti perkosaan dan eksploitasi yang dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh, guru, dan tenaga pendidikan mendapatkan hukuman secara maksimal, termasuk mempublikasi pelaku kekerasan seksual.

“Jadi selain hukuman maksimum maksimal 15 tahun (bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak) ditambah 2/3 menjadi 20 tahun, plus pidana tambahan yaitu (pertama) dikebiri, (kedua) pemasangan chip (kartu), dan yang ketiga adalah diumumkan di tempat-tempat strategis,” katanya.

Khusus terkait pengumuman pelaku di tempat-tempat strategis, katanya, disebabkan sejumlah temuan di lapangan yang belum terlihat pelaku merasa jera. Oleh karena itu, sambungnya, jika hukuman tersebut dapat dijatuhkan kepada pelaku, diharapkan terdapat efek jera kepada pelaku.

“Artinya efek jera akan didapat, (bagi calon pelaku) untuk memikirkan beribu kali jika akan melakukan kekerasan seksual pada anak dan memang kita semua dikonstruksi baik secara sosial, yuridis, konstitusional bahwa anak bukan objek seks. Setiap hal yang berkaitan dengan hubungan seksual dengan anak adalah kejahatan,” jelasnya.

Sementara dari Lembaga Bahtsul Masail PWNU Jawa Tengah KH Busyro Musthofa mengatakan, pelaku kekerasan terhadap anak selama belum terbukti secara hukum tidak boleh dipublikasikan.

“Selama sebelum itu (terbukti) nyebut namanya saja tidak boleh karena itu bagian hal yang ditutupi dan itu bagian dosa besar,” ucapnya.

Sementara untuk anak yang menjadi korban, sambungnya, baik kasusnya belum terbukti atau sudah, dalam keadaan keduanya, korban tidak boleh dipublikasi.

“Untuk korban semuanya tidak boleh, itu dalam kitab fiqih dilarang,” ucapnya. (Husni Sahal/Muhammad Faizin)