Nasional

Puslitbang Kemenag: Calon Ulama Harus Lebih Produktif

Kam, 1 November 2018 | 12:30 WIB

Puslitbang Kemenag: Calon Ulama Harus Lebih Produktif

Mahasantri di Bogor, Jawa Barat

Bogor, NU Online
Sebagai mahasantri calon ulama besar yang hidup di era milenial, idealnya jauh lebih produktif dalam melahirkan karya ilmiah. Pasalnya, sumber data berlimpah dan didukung oleh fasilitas teknologi mutakhir. 

Pesan tersebut disampaikan Kepala Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Balitbang Diklat Kemenag, Amsal Bakhtiar kepada para mahasantri yang terpilih dalam kegiatan kegiatan Penulisan Karya Tulis Ilmiah Mahasantri (PKTIM) Tahun 2018. 

“Di era milenial, lanjut dia, semua fasilitas ada. Betapa enaknya para santri sekarang. Listrik ada, laptop dan komputer tersedia, internet di mana-mana. Cara menulis sekarang juga sangat simpel karena bahan dan data berlimpah,” ujar Amsal saat membuka resmi seminar hasil penelitian KTIM 2018 di di Hotel Grand Savero Bogor, Rabu (31/10) malam.

Di masa depan, mahasantri diproyeksikan menjadi ulama besar atau orang hebat. Oleh karena itu, harus menyiapkan diri. “Anda akan menjadi calon ulama besar harusnya jauh lebih produktif dari para ulama yang lama, jadul dan super jadul. Mengapa saya katakan demikian? Karena ulama yang jadul jangankan AC, listrik saja tidak ada,” jelas Amsal.

Alumnus Pesantren Gontor Ponorogo ini lalu mencontohkan para ulama jaman dulu (jadul) seperti Hadratusy Syekh Hasyim Asy’ari, memiliki banyak karya monumental. “Saat itu jangankan mesin ketik, listrik saja tidak ada. Tapi produktivitasnya tinggi. Ini yang perlu kita teladani,” tandasnya.

Para ulama Nusantara sebelumnya, lanjut Amsal, pun telah menorehkan tinta emas di ranah keilmuan yang diakui dunia luas melalui karya tulis mereka. Di antaranya Syekh Yasin Al-Fadani, Syekh Nuruddin Ar-Raniri, Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Ahmad Khatib Al-Sambasi, Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, dan Syekh Abdus Shamad Al-Falimbani, kesemuanya berkarya melalui tulisan tangan.    

Guru Besar UIN Jakarta ini menegaskan, kelahiran para calon ulama besar harus didorong melalui kegiatan berbasis riset dan literasi. 
“Oleh itu, mestinya pengirim naskah ini lebih banyak lagi tahun depan. Sebab, kalau 15 mahasantri terpilih dari 40 orang tentu kurang tepat. Karena satu orang hanya menyisihkan satu atau dua orang, mestinya satu orang menyisihkan sepuluh orang,” harapnya.

Pria asal Padang ini lalu bercerita betapa repotnya saat masih nyantri di pesantren dan di bangku kuliah. Pada saat menyusun risalah Bachelor of Arts, misalnya, ia masih menggunakan mesin ketik manual.

“Mesin tik itu tebalnya luar biasa. Beratnya kira-kira tujuh kilo. Itu saya bawa ke mana-mana. Kalau salah ketik saya kasih tip ex. Karena masih basah, kalau mau ngetik di tempat yang sama, harus ditiup-tiup dulu. Biar cepat kering,” kenangnya disambut tawa hadirin. (Musthofa Asrori/Muiz)