Bogor, NU Online
Hingga saat ini, jihad bagi para kaum ekstremis dipahami sebagai perang fisik dengan mengangkat senjata. Hal itu menjadi dasar legitimasi agama untuk melakukan kekerasan sehingga muncul radikalisme agama. Problem tersebut muncul karena kesalahan memaknai jihad.
Demikian disampaikan Direktur International Center for Islam and Pluralism (ICIP) Syafiq Hasyim, Selasa (17/10) usai mengisi materi pada kegiatan The Asia Interfaith Forum 2017 yang diselenggarakan Pusat Studi Pesantren (PSP) di Bogor, Jawa Barat.
“Sebagian besar radikalisme dan militansi agama muncul dari kesalahan orang memahami kata jihad terutama kesalahan memahami konteks jihad itu sendiri,” ujar Syafiq dalam forum yang diikuti oleh para akademisi dan aktivis perdamaian dari lima negara ini.
Menurutnya, makna jihad yang menjadi problem itu bagaimana orang memposisikan konteks jihad itu sendiri.
“Kenapa konteks itu penting karena seolah-olah konteks itu sama terus, padahal berbeda. Konteks zaman Nabi, zaman peperangan dulu berbeda dengan konteks abad pertengahan,” terangnya dalam kegiatan bertajuk Religious Radicalism and Terrorism: Challenge, Respon, and Action.
Apalagi, imbuh Doktor lulusan Freie Universitat Berlin ini, konteks zaman modern sekarang dimana hampir seluruh negara di dunia memahami bahwa dunia ini bukan dalam keadaan perang tetapi dunia ini dalam keadaan damai.
“Kalau konteks zaman sekarang dunia dalam keadaan damai lalu dimaknai perang, maka mereka salah memahami konteks jihad,” tegas Syafiq.
Kemampuan memahami jihad ini, imbuh salah seorang pengurus Lembaga Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama (LPTNU) ini, manusia lalu dapat mengintepretasikan lagi pemaknaan jihad itu sendiri.
“Ketika jihad dimaknai perang, untuk saat ini yang dimaksud perang, ya bukan perang senjata tetapi perang dalam dunia pendidikan, perang dalam intelektualisme, perang melawan kemiskinan, mewujudkan keadilan sosial, dan seterusnya,” pungkas Syafiq. (Fathoni)