Nasional

Ruang Tamu Nabi Muhammad Selalu Terbuka, Gus Ulil: Seperti Kiai Pesantren

Sab, 16 Oktober 2021 | 09:06 WIB

Ruang Tamu Nabi Muhammad Selalu Terbuka, Gus Ulil: Seperti Kiai Pesantren

Ulil Abshar Abdalla. (Foto: Tempo)

Jakarta, NU Online

Pengasuh pengajian virtual Ihya’ Ulumuddin, Ulil Abshar Abdalla mengungkapkan bahwa Nabi Muhammad merupakan sosok pribadi yang membuat nyaman para sahabat ketika sowan atau berkunjung kepadanya.


“Ruang tamu kanjeng Nabi itu selalu terbuka sepanjang saat dan tidak pernah mengenal jadwal waktu,” terangnya dalam acara bertajuk Maulid Tasawuf Milenial di Kafe Leha-Leha Yogyakarta, disiarkan langsung melalui akun facebook Ulil Abshar Abdalla, Jumat (15/10) malam.


Lantaran terlalu sering rumah kanjeng Nabi itu dikunjungi para sahabat dan tidak mengenal waktu, sampai-sampai turun firman Allah dalam Al-Qur’an pada QS Al-Ahzab ayat 53.

 

Artinya, wahai orang-orang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali jika kamu diizinkan untuk makan tanpa menunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu dipanggil maka masuklah dan apabila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa memperpanjang percakapan.


“Ayat ini memperingatkan para sahabat. Wahai para sahabat, kamu kalau bertamu atau sowan kepada kanjeng Nabi ya sudah kalau dikasih wedang, jajanan, ngobrol sebentar, selesai, pulang. Jangan terus ngobrol berlama-lama,” kata Gus Ulil, memaknai QS Al-Ahzab ayat 53 itu. 


Di ayat itu disebutkan wa laa musta’nisina li hadits inna dzalika yu’dzinnabi. Menurut Gus Ulil, kalimat tersebut bermakna perintah agar para sahabat tidak memperpanjang obrolan saat sowan kepada Nabi Muhammad. Sebab hal itu membuat Nabi tidak enak karena sebagai manusia, Nabi juga memiliki privasi. 


Meski demikian, Gus Ulil memaknai ayat dalam surat Al-Ahzab itu sebagai penggambaran bahwa Nabi Muhammad merupakan sosok yang membuat orang lain merasa nyaman kalau duduk-duduk bersamanya. Tetapi Nabi Muhammad tetap tenang dan senang saja dengan kehadiran para tamu itu.


“Nah saya kalau melihat ruang tamu para kiai, di pesantren terutama, itu ruang tamunya selalu terbuka. Datang kapan saja kita bisa, nggak perlu ada janjian. Kiai-kiai kita ya seperti kanjeng Nabi itu. Kiai yang saya lihat sangat dekat itu seperti Gus Mus (KH Ahmad Mustofa Bisri),” tambah Gus Ulil. 


Ditegaskan, kalau ingin melihat atau memvisualisasikan Nabi Muhammad seperti apa perilakunya maka tinggal saksikan saja perangai para kiai di pesantren seperti Gus Mus, lalu dikalikan seribu atau dua ribu kiai. 


Sebab ketika seseorang menyowani para kiai pesantren maka akan timbul rasa tenang dan nyaman. Tak hanya itu, para kiai pesantren itu juga akan memberikan pesan-pesan yang juga menimbulkan ketenangan. 


“Menurut saya mudah sekali menengarai para ulama itu pewaris nabi atau tidak. Kalau ulama itu pesan-pesannya menimbulkan ketenangan, maka itulah pewaris nabi. Tetapi ketika pesan-pesannya menimbulkan ancaman, ketakutan, kegalauan, bahkan kecemasan di masyarakat, saya kok nggak yakin nabi begitu,” terang santri KH Sahal Mahfudh di Pesantren Mathaliul Falah, Kajen, Pati, Jawa Tengah itu. 


Kalau di Arab, lanjut Gus Ulil, ada Habib Ali Al-Jufri yang dalam pidato-pidatonya selalu memuat pesan merangkul dan menyenangkan. Bahkan membuat orang lain memiliki harapan dan tidak terpecah-belah antar satu dengan yang lainnya. 


“Itulah saya kira sosok kanjeng Nabi itu. Sekarang ini sebagian orang membayangkan kanjeng Nabi itu beda. Seolah-olah kanjeng Nabi dibayangkan sebagai orang yang sepanjang hidup urusannya halal-haram saja. Saya nggak yakin Nabi seperti itu,” katanya.


Gus Ulil pun meyakini bahwa kehadiran Nabi Muhammad untuk membawa syariat, hukum, aturan, dan moral. Akan tetapi, sepanjang hidupnya, Nabi tidak hanya mengurusi soal haram dan halal saja.


“Ya beliau kadang ditanya soal halal-haram, tetapi beliau itu juga di saat-saat yang lain berbicara soal kemanusiaan. Itulah yang kita lihat di dalam tokoh-tokoh Islam, para kiai dan ulama yang kita lihat di pondok-pondok pesantren,” terang Gus Ulil.


Dengan demikian, jika umat Islam ingin mengadakan peringatan Maulid Nabi atas dasar kecintaan yang sangat luar biasa kepada Nabi Muhammad, maka cara termudahnya adalah dengan melihat perilaku para pewaris nabi, yakni para ulama dan kiai di pesantren.  


“Jadi kita bisa menghadirkan kanjeng Nabi sekarang dan sudah ada contohnya. Cuma, kita ini kadang lupa bahwa kanjeng Nabi punya pewaris. (Padahal) kita bisa lihat kanjeng Nabi ya di situ, lihatlah perilaku-perilaku mereka (para kiai di pesantren),” pungkas putra Pengasuh Pondok Pesantren Mansajul Ulum, Pati, Jawa Tengah, KH Abdullah Rifa’i itu. 


Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Fathoni Ahmad