Nasional

Saat NU Jadi Tempat Pengaduan Kegalauan KPK

Jum, 24 Juni 2016 | 05:02 WIB

Jakarta, NU Online
Salah satu Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif mengungkapkan, Nahdlatul Ulama merupakan salah satu organisasi yang menjadi tempat pengaduan saat KPK mengalami sebuah kegalauan dalam menghadapi sebuah kasus korupsi.

“Setiap ada kegalauan di KPK, salah satu pondok (organisasi) yang kami kunjungi adalah pondoknya NU ini,” kata Syarif.

Hal tersebut disampaikan saat Syarif memberikan ceramah kunci dalam acara Peluncuran dan Bedah Buku Jihad Nahdlatul Ulama Melawan Korupsi di Lantai 8 Gedung PBNU, Jakarat (23/6). 

Syarif menyebutkan bahwa sumbangsih NU dalam hal kepenulisan tentang korupsi itu sudah dimulai sejak dahulu kala. “Yang paling pertama waktu itu adalah khutbah anti korupsi. Itu ditulis oleh NU,” jelasnya. Buku tersebut, jelas Syarif, disusun, disempurnakan, dan diberi judul dengan nama Telaah Fikih Korupsi. 

“Itu dibagikan dan tidak ada di toko buku,” jelas Syarif. Ia mennyayangkan, Undang-undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) masih lemah dan kurang lengkap.    

“Lebih lengkap ini (buku Jihad Nahdlatul Ulama Melawan Korupsi) dibandingkan UU kita itu.” Komentar Syarif terhadap buku tersebut yang kemudian diiringi tepuk tangan dari peserta diskusi. Pemberantasan korupsi, lanjut Syarif, tidak akan bisa tuntas kalau hanya diserahkan kepada KPK saja. 

“KPK itu jumlahnya (pegawai) itu seribu empat ratus orang, sudah termasuk cleaning service, satpam, dan lain-lain,” kata Doktor lulusan Universitas Sidney tersebut. 

Sedangkan setiap tahunnya, imbuh Syarif, KPK menerima sekitar tujuh ribu laporan setiap tahunnya dengan jumlah penuntut dan penyidik yang kurang dari dua ratus orang. 

“Jadi kalau tanpa dukungan bapak-bapak, organisasi seperti NU, saya pikir tidak akan selesai urusan korupsi itu,” ungkapnya.

Hifdzil Alim, salah satu penulis buku Jihad Nahdlatul Ulama Melawan Korupsi berharap buku ini akan menjadi pegangan dan pedoman bagi para kiai dan pengasuh pesantren. Karena menurutnya, pesantren itu sangat rentan sekali terkena kasus korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara.

“Jadi kalau ada sumbangan-sumbangan yang masuk ke pondok pesantren, di-screening dulu. Jadi tidak langsung diterima,” pungkasnya. (Ahmad Muchlishon Rochmat/Fathoni)