Nasional

Sanksi Lemah, Kejahatan Kekerasan Seksual Terus Berulang

Kam, 15 Mei 2014 | 05:01 WIB

Jakarta, NU Online
Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Maria Advianti menilai lemahnya sanksi yang dijatuhkan putusan pengadilan mengakibatkan kejahatan kekerasan seksual terhadap anak tidak menemukan kata henti. Sementara penegakan hukum, menurut Maria, sangat penting selain membuat para pelaku jera tetapi juga mencegah pelaku-pelaku baru.
<>
Meskipun tuntutan berat diarahkan jaksa terhadap para pelaku, Maria menyayangkan hakim yang kerap menjatuhkan sanksi ringan terhadap pelaku. Penegakan hukum yang terus berlarut-larut terhadap kasus seperti ini, juga menjadi masalah tersendiri dalam peradilan di Indonesia.

Secara normatif, sanksi bagi pelaku kekerasan seksual meningkat seperti undang-undang nomor 23 tahun 2002 dan nomor 44 tahun 2008. Ini patut disyukuri, lanjut Maria. Tetapi eksekusi undang-undang ini yang nihil.

Kalau dulu, sanksi kepada pelaku lebih lemah lagi. Para hakim mengacu kepada KUHP yang menyatakan hukuman kurungan minimal 5 tahun bagi pelaku pemerkosaan. Sementara kekerasan seksual tidak melulu pemerkosaan, kata Maria.

“Kita minta sanksi berat bagi pelaku kekerasan seksual anak,” kata Maria yang kini dipercaya mengurus Koperasi Yasmin, unit usaha Fatayat NU kepada NU Online, Rabu (14/5) petang.

Dengan putusan ringan, para pelaku semakin leluasa untuk melakukan atau mengulang aksi jahatnya. Kecuali itu, pelaku yang diputus bebas ini merusak kejiwaan korban. Karena pelaku yang umumnya orang dekat dengan korban masih beredar bebas di sekitar korban.

“Ini tidak boleh dibiarkan. Korban akan terus merasa tertekan benci dan takut melihat pelaku masih berada di lingkungan mereka tanpa penahanan,” tandas Maria yang menunjuk aparat hukum sebagai pengaruh perubahan masyarakat perihal kejahatan kekerasan seksual terhadap anak. (Alhafiz K)