Nasional

Sejumlah Konsekuensi Pasca Hancurnya Kelompok ISIS

Rab, 27 Maret 2019 | 02:15 WIB

Sejumlah Konsekuensi Pasca Hancurnya Kelompok ISIS

ISIS (Dok. Reuters)

Jakarta, NU Online
Serangan milisi Kurdi ke basis terakhir pertahanan ISIS di kota kecil Baghouz al-Fawaqani di tepi Sungai Euphrate, Irak menjadi pertanda akan hancurnya Kekhilafahan ala kelompok radikal yang dipimpin oleh Abu Bakar al-Baghdadi itu. Tanah yang dikuasai organisasi ekstrimis tersebut kini tinggal secuil dari peta besar wilayah Irak dan Suriah yang dahulu menjadi basis kekuasaan mereka.

Menyikapi keruntuhan Kekhilafahan Abu Bakar al-Baghdadi, Direktur The Islah Centre, Mujahidin Nur mengatakan, sebagai organisasi yang konsen dalam masalah terorisme, The Islah Center merasa perlu untuk menguraikan beberapa hal sebagai konsekuensi dari kehancuran kekhilafahan kelompok radikal bentukan mantan pemimpin Jamaat Jaysh Ahl al-Sunnah wa-l-Jamaah (JJASJ), sebagai berikut:

Pertama, kehancuran Kekhilafahan Abu Bakar al-Baghdadi akan menyisakan banyak masalah besar bagi dunia khususnya dunia Islam. Sejumlah 110 negara di dunia yang masyarakatnya terlibat menjadi anggota dari kelompok teror ISIS atau biasa disebut FTF (foreign fighters) dengan jumlah 41.490 Foreign Fighters; 32.809 laki-laki, 4.761 perempuan dan 4.640 anak-anak.

Kedua, dari jumlah 41.490 FTF, 18.852 datang dari negara-negara Timur Tengah dan Afrika Utara, 7.252 dari Eropa Timur, 5965 dari negara-negara Asia Tengah, 5904 dari Eropa Barat, 1010 dari Asia Timur, Asia Tenggara 1063, dari Amerika 753 Ausia dan New Zealand, 447 souther Asia,  244 sub-saharan Africa.

Ketiga, gelombang pertama FTF datang ke Irak pada tahun 2003 sebelum perang sipil di Suriah, paska tumbangnya rezim Saddam Hussein. FTF yang datang ke Irak kala itu karena ingin bergabung bersama AQI (al-Qaeda in Irak) pimpinan Abu Musab al-Jarqawi teman dekat Abu Bakar al-Baghdadi, mereka berusaha melakukan perlawanan dan mengusir pendudukan Amerika di Irak. Kombatan-kombatan AQI inilah yang kemudian memproklamirkan berdirinya ISIS di kemudian hari.

Keempat, Gelombang kedua, merupakan gelobang paling massif kedatangan FTF terjadi ketika terjadi Arab Spring, musim semi di Arab yang melanda Suriah. Perang saudara terjadi ketika masyarakat Syuriah yang mayoritas muslim ingin menumbangkan rezim Bashar al-Asad yang merupakan penganut Syiah Alawiyah.

Kelima, permasalahan pertama, yang dihadapi negara-negara di dunia pasca kehancuran kekhilafahan sepihak besutan Abu Bakar al-Baghdadi adalah perdebatan sekitar FTF yang saat ini menjadi tawanan dan ingin kembali ke negara masing-masing. Hampir semua negara-negara di dunia termasuk Indonesia kebingungan bagaimana memperlakukan warga mereka yang sudah bergabung bersama ISIS dan saat ini menjadi tawanan di Suriah.

Hal itu dikarenakan beberapa hal; pertama bahaya laten terorisme yang akan mengancam negara bersangkutan apabila memperbolehkan pengikut ISIS ini pulang atau mengekstradisi mereka. Kedua, di hampir semua negara belum adanya payung hukum (UU Terorisme) untuk menjerat mereka yang bergabung dengan kelompok teror internasional seperti ISIS. 

Keenam, permasalahan kedua, bagi dunia Islam, FTF yang masih tersisa di medan perang menurut pengamatan The Islah Centre mereka akan mencari jalan keluar untuk menyelamatkan diri mereka; pertama, mereka akan bergabung dengan al-Qaeda, kedua, mereka akan berusaha untuk menyeberang ke sel ISIS yang masih hidup utamanya di negara-negara yang dilanda konflik baik itu di Yaman IS-AP (IS-Aden Province) dan IS-HP (IS-Hadramaut Province), Libya IS-FP (IS-Fezan Province), Afghanistan IS-KP (IS-Khurasan Province) atau ke semenanjung Sinai Mesir IS-SP (IS- Sinai Province).

“Artinya, negara-negara tersebut akan mendapatkan ancaman terorisme dengan migrasinya FTF ke negara-negara mereka,” tandas Mujahidin Nur. (Red: Fathoni)