Nasional

Selamat Hari Bahasa Ibu, Berbahasa adalah Nikmat Allah

Jum, 22 Februari 2019 | 08:30 WIB

Jakarta, NU Online 
Bahasa ibu merupakan bahasa pertama kali yang dipelajari atau digunakan seseorang. Misalnya anak Aceh atau Papua, pertama kali menggunakan yang otomatis mempelajari dalam bahasa tersebut, maka anak itu berbahasa ibu Aceh atau Papua. Anak itu kemudian disebut penutur asli bahasa itu. 

Karena berbagai faktor, ketahanan bahasa ibu di berbagai daerah di Indonesia semakin terdesak oleh bahasa-bahasa lain. Mulai dari bahasa Indonesia sendiri dan bahasa asing, misalnya Inggris atau Arab. Keterdesakan itu, jika dibiarkan, lama kelamaan menyebabkan bahasa itu hilang.

Terkait bahasa ibu yang biasa diperingati tiap 21 Februari, NU Online pernah mewawancarai budayawan dan agamawan Sunda, Usep Romli HM. Ia berpendapat, kondisi bahasa ibu di Indonesia ada yang bertahan, ada yang mengalami kemunduran. Yang bertahan, antara lain bahasa Sunda, Jawa, Bali, dan Lampung.

"Itu ditunjukkan dari lahirnya karya-karya tulis dalam bahasa itu yang tiap tahun mendapat hadiah dari Yayasan Rancage, baik untuk karya sastra maupun jasa terhadap bahasa dan sastra. Hadiah Yayasan Rancage yang digagas Ajip Rosidi sudah berlangsung lebih 25 tahun," katanya. 

Ketika ditanya apa pentingnya menjaga dan melindungi bahasa ibu, Usep mengatakan bahwa bahasa ibu mengandung filosofi, kearifan dan pandangan hidup masyarakat penggunanya. Untuk menjaga semua itu, bahasa ibu diperlukan hidup dan berkembang. Firman Allah dalam Q S Ar Rum ayat 22. Dan beberapa hadits yang menyangkut “antum a’lamu bi umurid dunyakum”. 

Menurut dia, pesantren lembaga pesantren masih utuh dan murni berdasarkan prinsip tafwidz (hanya Allah yang merancang), bahasa daerah terpelihara. Hingga tahun 1960-an, santri di Tatar Sunda masih mengaji kitab dengan bahasa Jawa, karena ajengannya ngaji di Jawa Tengah atau Jawa Timur. Sekarang pesantren telah berubah menjadi lembaga pendidikan umum, yang menganut prinsip tadbir (menggantungkan kepada subsidi), bahasa daerah nyaris hilang dalam kegiatan formal.Kecuali dalam pergaulan sehari-hari yang amat terbatas. 

Selama ada yang menggunakan dan memperjuangkan, insya Allah, akan tetap ada. Jika diabaikan, ya nikmat bahasa itu dicabut oleh pemiliknya, Allah SWT. Dia tidak akan mencabut anugrah nikmat-Nya dari suatu kaum, jika kaum itu tidak mengabaikan nikmat tersebut dengan sikap kufur nikmat (tafsir Ath Thabari, Jalalain, Khozin, atas ayat 11 S.Ar Ra’du Innallaha laa yughoyyiru ma bi qowmin hatta yughoyyiru ma bi anfusihim.

"Para mufasir mengkategorikan ayat ini sebagai ayat syukur dan kufur nikmat. Para ulama Orde Baru menganggap ayat ini sebagai ayaat pembangunan),” jelasnya.  

Jika bahasa Ibu hilang, kerugian buat kita adalah kerugian yang ditimpakan Allah SWT kepada bangsa kufur nikmat. Dijerumuskan ke “negara kebinasaan” (Q,s.Ibrahim : 28). Manusia kufur nikmat mendapat azab pedih (Q.s.Ibrahim : 7). Bahasa Ibu adalah nikmat Allah. Orang yang mensyukurinya dengan memelihara, memajukan, memperjuangkan kelanggengannya, akan ditingkatkan nikmatnya (Q.S.Ibrahim : 7). (Abdullah Alawi)