Nasional KESAKSIAN PUTRA H. MAHBUB DJUNAIDI

Semoga Keturunan Saya Tak Ada yang PNS

Rab, 2 Oktober 2013 | 11:00 WIB

Tulisan di bawah ini adalah kesaksian Yuri Mahatma, putra almarhum H. Mahbub Djunaidi yang tinggal di Bali. Ia bercerita bagaimana ayahnya mendidik anak-anaknya. Yuri mengirim catatan ini melalui surat elektronik kepada NU Online, Rabu (2/10) dalam rangka Haul ke-18 H. Mahbub Djunaidi. Berikut catatannya.

<>Ayahanda, seperti layaknya bapak-bapak pada umumnya. Di lingkungan tempat kami tinggal selain beliau dikenal sebagai tokoh NU, anggota DPR, dan wartawan/kolumnis, dia juga dikenal sebagai jago main layangan. 

Kalau dia sudah naikin layangan di loteng kami, orang-orang kampung pada takut ngadu…hehe. Saya dan kakak saya bagian pegangin gulungan benang gelasan sambil jadi cheer leadernya.

Hal lain, yang melekat di ingatan saya, Ayahanda suka membakar sendiri sate kambing. Biasanya setiap ba'da jumatan. Arang kayu disusun diatas genteng tanah liat. Anak-anak yang ngipasin sambil sesekali mengelap air liur yg ngecess. Biasanya teman-teman ayahanda juga datang dalam kesempatan seperti ini macam Oom (saya manggilnya Oom) Zamroni dan terkadang Oom Akbar Tandjung, dan lain-lain.

Hal yang paling ditekankan beliau kepada anak-anak adalah masalah disiplin waktu. Bukan kebetulan kalau dia menghadiahi saya buku karya terjemahan Jules Verne, 80 Hari Keliling Dunia, sebagai buku pertama saya yang bukan cerita bergambar (non-komik) adalah supaya kami anak-anak paham betul bagaimana cara menghargai waktu.

Kedua, adalah baca buku. Dalam kesempatan apapun, apabila beliau harus menghadiahi seseorang, entah teman, kerabat ataupun anak-anak, pastilah buku yang menjadi pilihannya sambil tidak lupa membubuhi tanggal dan tanda tangan beliau di bagian sampul. 

Alahmadulillah kebiasaan ini menurun ke saya. Selain bermusik (sekarang saya musisi professional), hobby saya adalah menyantap buku. Dan ini saya jadikan kebiasaan juga akhirnya untuk selalu membawa anak-anak saya ke toko buku. "Urusan lain boleh pelit, tapi untuk beli buku jangan berhitung", demikian kerap dia berujar.

Hal yang sering dia ucapkan di kala senggang, adalah "Semoga keturunan saya gak ada yang jadi PNS". "Kerja sendiri, wirausaha, adalah sebaik-baik pekerjaan," ujarnya. 

Konon suatu kali adik beliau susah cari kerja dan meminta tolong kepada ayahanda sekedar membuatkan "katabeletje" kepada salah satu departemen pemerintah agar dia bisa diterima menjadi PNS. 

Ayahanda menulis sesuatu sebagaimana diminta, memasukannya ke dalam amplop, dan kemudian disegel dgn lem. Belakangan baru diketahui bahwa beliau menulis: "Jangan terima adik saya ini!" Hal ini menjadi bahan guyonan selama bertahun-tahun

Tentang pendidikan ruhani, layaknya para bapak yang lain, beliau selalu menyempatkan diri, bila sedang berada di rumah untuk mengimami kami semua. 

Zaman kami kecil belum ada yang namanya FPI (Front Pembela Islam, red.) yang memancing perdebatan. Saat itu paling cuma perbedaan remeh-temeh NU-Muhammadiyah. 

Jadi pemahaman beragama kami secara kultural jelas NU. Pemahaman beragama kami sebatas Rukun Islam dan Rukun Iman. Kadang kala sedikit mejelaskan tentang perbedaan Sunni-Syiah, yang bagi dia, keduanya adalah Islam yang diakui sah.

Demikian mungkin sedikit kenangan kami dengan ayahanda saat kecil. Perlu dipahami, ayahanda menganut poligami (walaupun akhirnya bercerai dengan ibu kami). Ibu kandung kami adalah Hj. Toety Suparti istri kedua beliau.

Semasa menikah dengan ayahanda kami tinggal di bilangan Pasar Minggu. Sedangkan istri pertama beliau (alm) Hj. Asni Djunaidi. Dari Istri pertama beliau dikarunai 5 orang anak (3 putri dan 2 putra) yang 2 sudah almarhum/ah, 2 orang tinggal di jakarta sedangkan seorang di Bandung. 

Sedangkan dari ibu kami, lahir 2 putra, saya dan kakak saya Rizal Djunaidi. Kami berdua tinggal di Bali bersama Ibunda yang sudah sakit-sakitan dan berbaring saja di tempat tidur. Hubungan saya dan kakak-kakak tiri, Alhamdulillah terjaga, silaturahmi dengan baik.

Wassalam Yuri