Nasional

Seni Hadrah Telah Ada Sebelum Indonesia Merdeka

Sen, 23 Juli 2018 | 12:30 WIB

Seni Hadrah Telah Ada Sebelum Indonesia Merdeka

Ketua Yayasan Bahrul Ulum Jombang KHM Wafiyul Ahdi

Jombang, NU Online
Ketua Umum Yayasan Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang KHM Wafiyul Ahdi mengungkapkan, lantunan shalawat diiringi irama rebana yang dikenal dengan seni hadrah itu telah membudaya pada masyarakat Islam Nusantara jauh sebelum kemerdekaaan negeri ini.

Lantunan shalawat itu bukan hanya sekedar shalawatan, tetapi lebih dari itu, shalawat Ishari bermula dari sebuah amaliyah Thariqah Mahabbaturrasul dengan mensenandungkan maulid syaraful anam dan syair-syair Diwan Hadrah. 

Shalawat tersebut diajarkan pertama kali oleh Habib Syech Botoputih Surabaya, seorang ulama sekaligus mursyid thariqat pada tahun 1830 yang kemudian populer di kalangan para santrinya dan masyarakat dengan nama hadrahan atau terbangan. 

"Secara turun temurun kegiatan hadrahan ini ditradisikan oleh murid-murid para Mursyid Thariqah Mahabbaturrasul dan menjadi seni tradisi masyarakat muslim Jawa," ungkapnya kepada NU Online, Senin (23/7).

Ia sengaja bercerita tentang sejarah Ishari untuk menyambut pelantikan Pengurus Pusat Ikatan Seni Hadrah Republik Indonesia (Ishari) dalam rangkaian peringatan haul Ke-47 Almaghfurlah KH Abdul Wahab Hasbullah, Selasa (24/6).

Menurut pandangannya, pada tahun 1918 shalawat hadrah ini dikembangkan kembali oleh KH Abdurrahim bin Abdul Hadi di Pasuruan, dan lahirlah kelompok-kelompok hadrah yang didirikan oleh para santrinya yang menjadikan shalawatan Hadrah ini dikenal dengan Hadrah Durahiman.

"Pada masa penjajahan di mana kebebasan berkumpul masyarakat pribumi itu diawasi ketat, kegiatan kesenian hadrah berperan penting dalam aktifitas konsolidasi para ulama yang membahas masalah-masalah keummatan, karena izin yang diberikan oleh pemerintahan penjajah untuk mengadakan kesenian hadrah ini dimanfaatkan untuk musyawarah para ulama," ujarnya.

Setelah masa kemerdekaan, ketika gerakan penyebaran paham komunis berkembang pesat, termasuk penyebaran melalui media kesenian dan budaya, maka atas inisiatif KH Abdul Wahab Hasbullah yang saat itu menjadi Rais Am PBNU, kelompok-kelompok hadrah yang sudah eksis melaksanakan pembacaan shalawat hadrah itu diorganisir untuk menandingi kelompok-kelompok kesenian dan budaya milik PKI. 

"Dan pada tahun 1959 berdirilah organisasi Ishari, Ikatan Seni Hadrah Republik Indonesia (Ishari) yang berkantor pusat di Surabaya. Melalui kegiatan-kegiatan Ishari inilah upaya perlawanan budaya terhadap paham komunisme dilakukan oleh para ulama sekaligus untuk membentengi masyarakat santri dari pengaruh paham komunisme yang disebarkan oleh PKI," ucapnya.

Maka lengkaplah perlawanan para ulama terhadap komunisme yang dilakukan melalui jalur fisik, head to head para jawara santri berkelahi secara fisik, melalui jalur politik yang diwakili partai NU dan melalui jalur budaya dengan seni Hadrah ISHARI. 

"Ini juga membuktikan bahwa persetujuan Mbah Yai Wahab atas konsep nasakomnya Bung Karno itu adalah strategi cerdas beliau untuk menghancurkan PKI dari dalam," katanya. (Syamsul Arifin/Muiz)