Nasional

Sikap Kiai Sahal Hadapi Perbedaan Pendapat dalam Fiqih

NU Online  ·  Selasa, 15 Januari 2019 | 08:15 WIB

Sikap Kiai Sahal Hadapi Perbedaan Pendapat dalam Fiqih

KH Ahmad Sahal Mahfudz

Bekasi, NU Online
Cendekiawan Muda Nahdlatul Ulama (NU) Ulil Abshar Abdalla menjelaskan, KH Ahmad Sahal Mahfudh adalah sosok ulama yang menarik. Ia menyebut Kiai Sahal adalah seorang ahli fiqih dan membagi sikapnya terhadap fiqih menjadi dua hal.

“Pertama, kalau ada pendapat yang spesifik dari ulama di masa lampau yang ada di dalam kitab kuning mengenai masalah tertentu, beliau tidak akan berani berpendapat. Itu prinsipnya,” tukas pria yang pernah nyantri di Ponpes Mathali’ul Falah, Kajen, Pati asuhan Kiai Sahal ini.

Kedua, jika ada dua pendapat ulama terkait suatu persoalan, Kiai Sahal memilih salah satu pendapat yang dianggap lebih kuat.

“Tapi beliau tidak akan berani berpendapat dari dirinya sendiri untuk menghormati ulama dari masa lampau. Kedua prinsip itu sering diungkapkan Kiai Sahal di hadapan santri semasa hidupnya,” jelas putra KH Abdullah Rifa’i dari Pesantren Mansajul Ulum, Pati ini.

Menurut pria yang akrab disapa Gus Ulil ini, prinsip Kiai Sahal yang seperti itu merupakan adab kepada para ulama terdahulu. Walaupun mungkin saja Kiai Sahal memiliki pendapat lain tapi lebih memilih untuk tidak berani berpendapat.

“Inilah adab khas para kiai atau ulama Indonesia,” tegas Gus Ulil.

Pemaparan ini disampaikannya saat menjelaskan tentang kontekstualisasi fiqih sekaligus mengkaji buku Nuansa Fiqih Sosial karya KH Ahmad Sahal Mahfudh yang merupakan Rais Aam PBNU periode 1999-2014 ini di Ngopi Santri, Pesantren Motivasi Indonesia (PMI), Kampung Cinyosog, Burangkeng, Setu, Kabupaten Bekasi, pada Ahad (13/1).

“Kiai Sahal itu salah satu kiai yang berada di balik gerakan kontekstualisasi fiqih, yang pada tahun 80-an disebut sebagai kontekstualisasi kitab kuning,” katanya.

Gus Ulil melanjutkan, Kiai Sahal bersama aktivis muda NU seperti KH Masdar Farid Mas’udi, menjadi salah satu mentor atau penggerak dari gagasan tersebut. Selain itu, Kiai Sahal bukan saja sekadar memberikan restu, tetapi juga terlibat.

“Beliau (Kiai Sahal) ketika itu menulis makalah, khusus mengenai pertanggungjawaban kontekstualisasi fiqih,” kata menantu KH Mustofa Bisri atau Gus Mus ini.

Ia kemudian menganjurkan kepada para santri untuk membaca bab pertama dari buku karya Kiai Sahal tersebut. Sebab, tergambar dengan jelas, lengkap, dan sistematis gagasan Kiai Sahal tentang kontekstualisasi fiqih atau kitab kuning. Gagasan itu pernah beliau sampaikan Kiai Sahal di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada sekitar tahun 90-an.

“Di sana Kiai Sahal berbicara tentang maksud kontekstualisasi kitab kuning,” jelasnya.

Sebagai informasi, Ngopi Santri adalah akronim dari Ngobrol Pemikiran dan Kesadaran Literasi. Yakni wadah diskusi baru setiap Ahad sore yang diadakan sejak 26 November 2018 di selasar Pesantren Motivasi Indonesia. Ngopi Santri mengangkat tema pembahasan dan narasumber yang berbeda setiap pekannya.

Di bawah asuhan KH Nurul Huda (Enha) yang bertindak sebagai pemantik diskusi, Ngopi Santri menjadi ruang belajar bersama mengenai studi keislaman yang lebih komprehensif, dengan konsep yang sederhana, serius tapi santai. (Aru Elgete/Muhammad Faizin)