Nasional MENYAMBUT HARI GURU NASIONAL 2018

Subhanallah, Guru Ini Rela Menguras WC untuk Beri Contoh Siswanya

Jum, 23 November 2018 | 06:16 WIB

Para siswanya sempat menangis karena sang ustadz ini menguras WC yang mampet karena sudah terlalu penuh. Sengaja ia tidak menyewa tangki penyedot WC karena biayanya dinilai terlalu mahal. Lebih baik biaya itu digunakan untuk keperluan yang lain. Ia mengaku tidak masalah bergelut dengan kotoran. Ia mengabdikan dirinya secara total untuk mendidik para santrinya, bahkan nyaris selama 24 jam.

Sore itu suasana asrama putri Pondok Pesantren Al-Mansuriah Bonder, Lombok Tengah tampak biasa-biasa saja. Kondisi asramanya juga sangat sederhana. Tak disangka kamar pojok paling selatan di asrama itu yang dekat sawah adalah tempat tinggal seorang guru Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Pujut Lombok Tengah, Ustadz Sajidi.

Pria kelahiran 29 Desember 1972 di Dusun Pepandan Desa Stanggor, Kecamatan Praya Barat Daya, Lombok Tengah Nusa Tenggara Barat itu memiliki keuletan dalam membina peserta didik.

Bagaimana tidak dikagumi dan digani oleh anak didiknya. Hari-harinya atau hampir seluruh waktunya penuh dengan aktivitas sebagai seorang guru. Senin sampai Sabtu, ia mengajar di MAN 1 Pujut. Selain mengajar, ia juga telaten membina santri putri setiap hari, dan aktifitas ini dilakoninya sejak sepulang dari nyantri dan mengabdi di Pesantren Situbondo, Jawa Timur, pada tahun1999.

Mulai dari pagi dini hari ia membangunkan santri-santrinya untuk shalat berjamaah Subuh, kemudian berlanjut mengajar ngaji sampai pukul 07.00 waktu setempat. Kemudian ia mempersiakan dirinya mengajar ke madrasah.

Sepulang mengajar, usai shalat berjamaah Ashar ia melanjutkan mengajar kitab-kitab klasik. Magrib pun ia mengimami shalat Maghrib dilanjutkan ngaji Al-Qur’an hingga shalat Isya’ dan setelah itu lalu ia mengaji lagi sampai pukul 10 malam. 

Selain mengajar, ia pun tak lupa bertani di sela kesibukannya. Ia menanam cabe dan sayur-mayur, dan tanaman holtikultura lainnya. Begitulah gambaran aktifitas alumni Pondok Pesantren Attamimy Beransak Kota Praya, Lombok Tengah. 

Tidak salah ia disebut sebagai santri senior oleh pengasuh Ponpes Al-Manusriah Bonder TGH Achmad Taqiuddin Mansur. Ustadz Sajidi tidak hanya mengajar tapi juga ikut menjaga kebersihan lingkungan setempat, seperti layaknya seorang santri biasa.

Yang lebih menakjubkan ialah ketika WC asrama pesantren mampet, dirinya ikhlas dan membongkar sendiri untuk menguapkan kepenuhan WC tersebut. Bahkan beberapa santrinya pun sempat menangis melihat ketulusan sang ustadz yang menjadi contoh bagi para generasinya.

Tangisan santrinya itu karena mereka tidak akan menemukan ustazd seikhlas itu. Bahkan dirinya merasa diancam oleh para santrinya, ia tidak boleh membangun rumah di luar lingkungan asrama. “Anak-anak bilang akan berhenti mondok bila saya pergi,” katanya.

Dia berpikir bahwa bila menggunakan mobil tangki untuk menyedot WC itu akan menghamburkan uang pesantren. Karena satu tangki membutuhkan biasa sampai Rp. 400.000, sementara satu WC bisa membutuhkan sampie 4 tangki.
“Mending itu dipakai untuk beli listrik, bayar air dan kebutuhan lainnya,” katanya dengan wajah cerah diringi senyum khasnya.

Ustadz yang pernah nyantri di pondok pesantren asuhan TGH Khairi Adnan Praya, Rais Suriah PWNU NTB 2012-2017 ini memulai dirinya terbiasa dengan kotoran. Bahkan kotoran apa jenis alat pembalut permpuan. Itu menjadi hal biasa baginya. Ketika ia nyatri di Situbondo, Jawa Timur, malahan ia berhadapan dengan yang lebih dari itu, katanya. 

Sejak nyatri di Pesantren Situbondo itu lah ia memulai sadar dan menanamkan niatnya kepada dirinya untuk mengabdi di pondok pesantren sepulangnya dari pondok.

Ketika menjalankan tugas sebagai seorang guru Madrasah Aliyah Negeri (MAN), Ustadz Sajidi sadar bahwa tidak semua siswanya memiliki latar belakang sikap relegius yang kuat. Tidak semua siswanya pernah belajar mengaji dan mendapatkan bekal penanaman akhlak dan nilai-nilai keislaman yang cukup.

Para siswanya terdiri dari beragam karatkter. Ada juga siswa yang nakal sudah dibina. Namun ia tidak pernah menegur secara keras, apalagi sampai memukul. Karena satu harapan bagi ayah dua anak ini yaitu: “Semoga saat usai menjadi muridku kelak, ia mendapat hidayah.” 

Siswanya yang sangat nakal ia didik dengan memperingatkan dengan baik, dan kalau tidak ada perubahan dari hari ke hari, ia mengatasi dengan cara mendatangi rumahnya. Ia hanya bersilaturrahim ke orang tua siswanya dan tidak membicarakan tentang anaknya yang nakal, melainkan bicara biasa sebagai mana tamu-tamu yang hanya ingin besilaturahim ke kerabatnya.

Lalu kemudian hari-hari berikutnya anak ini mulai tampak malu jika bertemu dirinya di madrasah atau lingkungan sekolahnya. Pelan-pelan, siswa yang nakal ini mulai sadar. 

Maka tidak jarang para alumni MAN 1 yang dulunya sempat nakal datang berkunjung ke tempat tinggalnya yang masih seperti dulu itu. Mereka berkunjung ke tempat tinggal guru teladannya sekaligus meminta nasihat dan mengenang-masa-masa sekolah dulu. (Red: Fathoni)