Nasional

Tak Ada Klausul Tunjangan, RUU Sisdiknas Harusnya Momentum Setarakan Kesejahteraan Guru

Sab, 3 September 2022 | 09:30 WIB

Tak Ada Klausul Tunjangan, RUU Sisdiknas Harusnya Momentum Setarakan Kesejahteraan Guru

Ilustrasi: Guru mengajar (Foto: NOJ/MdI)

Jakarta, NU Online

Kesejahteraan guru sampai hari ini masih terbilang berbeda-beda, antara guru sekolah, madrasah, dan pesantren. Dilihat dari profesi, mereka memiliki hak dan kewajibannya sama. Namun, kesejahteraan mereka tidak sama.


Rancangan Undang-Undang (RUU) Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) harusnya menjadi momentum untuk perbaikan sekaligus penyetaraan kesejahteraan guru. "RUU ini momentum untuk kesejahteraan yang sama (antarguru)," kata Abdullah Ubaid Matraji, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) kepada NU Online pada Sabtu (3/9/2022).


"Itu (RUU Sisdiknas) harus dipikirkan bagaimana supaya instrumen kesejahteraan bisa mencakup seluruh guru yang ada di Indonesia, bisa menjembatani kesenjangan," lanjut Ubaid.


Namun, faktanya justru RUU tersebut malah mengancam kesejahteraan guru. Dalam RUU tersebut, tidak mencantumkan klausul mengenai tunjangan guru sebagaimana termaktub dalam UU Nomor 20 Tahun 2003. "Bukan malah bikin aturan yang mengobrak-abrik yang ada," katanya.


Padahal, menurutnya, klausul mengenai tunjangan itu yang krusial. Pasalnya, kesejahteraan guru sampai hari ini masih terjadi ketimpangan. Sebagaimana diketahui, beberapa guru honorer juga beberapa kali berdemo menuntut kesejahteraan. "RUU ini harus mampu menjawab persoalan tersebut," katanya.


"Status guru honorer gimana? Sampai hari ini terkatung-katung. Bahkan ada yang digaji 300 ribu, 100 ribu, intinya di bawah UMR, mereka masuk tiap hari. Kenapa dibedakan? Padahal statusnya sama," lanjutnya.

 

"Tunjangan itu di RUU tidak jelas. Karena tidak jelas, maka menimbulkan kontroversi,” katanya.


Dalam klarifikasinya, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mengatakan cukup melalui klausul penghasilan atau pengupahan dalam pasal 105 RUU Sisdiknas. Namun, Ubaid menyangsikan hal tersebut dapat terealisasi mengingat tidak ada klausul yang termaktub dalam batang tubuh UU tersebut.


"Tunjangan profesi sudah ada termasuk di dalamnya (penghasilan/pengupahan). Batang tubuh UU yang menyatakan itu apa?"


Ubaid mengatakan, bahwa ketika suatu hal yang sudah jelas termaktub saja masih dapat ditafsirkan, apalagi ini yang jelas-jelas tidak ada. "Hanya dapat penghasilan sesuai perundang-undangan bisa ditafsirkan," katanya.


Kalaupun memang nanti bakal dijelaskan dalam aturan turunannya, seperti Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri, maka sebaiknya harus tetap dicantumkan klausul tunjangan itu.


"Ini barangnya saja belum ada. Kalau memang guru dapat tunjangan profesi, tulis saja (di RUU itu)," katanya.


Ubaid mengungkapkan, bahwa ketidakjelasan mengenai tunjangan ini diawali dengan hilangnya kesempatan diskusi antara pemerintah dan pihak perwakilan guru melalui asosiasi profesi atau lainnya.


"Tidak banyak didiskusikan sehingga timbul kontroversi," katanya.


Oleh karena itu, Ubaid mengatakan, bahwa pemerintah perlu melibatkan seluruh asosiasi guru secara partisipatif. "Semua resources (sumber daya) diajak rembukan bersama," katanya.


Selain itu, perlu ada kesempatan diskusi antara pemerintah dengan mereka untuk membahas kontennya. Bukan hanya memberikan masukan lalu dicatat, dan selesai. Hal ini tidak ada proses pendalaman, seperti perdebatan konseptual dengan perbedaan cara pandang yang ada.


"Yang diharapkan oleh teman-teman CSO (organisasi masyarakat sipil) adalah kita beradu argumentasi, berdialog, (dan) berdebat. Kita tidak anti terhadap pandangan pemerintah. Tetapi pandangan pemerintah ini perlu didialogkan dengan perspektif masyarakat sipil, organisasi keagamaan dengan sudut pandang berbeda," pungkasnya.


Pewarta: Syakir NF
Editor: Kendi Setiawan