Nasional

Tentang Pakaian Jubah dan Makna Filosofisnya

NU Online  ·  Selasa, 18 Juni 2019 | 07:15 WIB

Tentang Pakaian Jubah dan Makna Filosofisnya

KH Muhammad Nur Hayid di Universitas Al Azhar Kairo, Mesir

Jakarta, NU Online
Saat ini ada kecenderungan umat Islam di Indonesia mengenakan pakaian gaya Arab; berjubah putih, berserban, dan memelihara jenggot untuk menunjukkan keimanan dan ketakwaannya kepada Allah SWT. Sebagian menyangka hal tersebut merupakan salah satu ittiba’ (mengikuti jejak) Nabi Muhammad.

Padahal, jubah, serban, sekalian jenggotnya, itu bukanlah pakaian Kanjeng Nabi. Abu Jahal juga mengenakan pakaian jubah dan berjenggot karena itu memang pakaian nasional (Arab).

"Makanya, lalu ada model dan tipe berjubah yang ini masing-masing negera berbeda bentuk dan modelnya. Model jubah kebesaran Mesir dan Arab Saudi berbeda. Juga model jubah kebesaran Arab Negeri Syam dan Maghribi serta Afrika Muslim juga berbeda," kata Wakil Ketua Lembaga Dakwah PBNU KH Muhammad Nur Hayid, Selasa (18/6).

Semua ini menurut Gus Hayid, panggilan karibnya, untuk membedakan model berjubahnya orang-orang awam dan para kibar (pembesar). Hal ini tentu dengan konsekwensi masing-masing.

Di era saat ini makna berjubah sudah mulai berubah. Jubah saat ini sering terlihat dipakai ke mana-mana dan di mana-mana oleh siapa saja. Bahkan ada orang-orang yang ke Arab saja tidak pernah apalagi mengaji di Arab, memakai jubah dan kemudian menjadi merasa paling Islami dan semua yang berbeda dengan dirinya salah dan sesat.

"Apakah yang demikian di sebut mengikuti sunnah rasul? Apakah nggak boleh kita berjubah kalau tak pernah berkunjung dan ngaji di negeri Arab? Boleh saja, siapa yang ngelarang?," ujar Gus Hayid.

Hanya saja lanjutnya, jika sudah berjubah maka janganlah hanya pakaiannya saja yang ditiru. Filosofi dari berjubah juga harus dijaga. Makna filosofis dari berjubah menurutnya adalah menjaga diri dari kehinaan, dengan menutup aurat lahiriyah dan aurat bathiniah.

"Artinya, karena berjubah, maka tidak boleh lagi menampakkan aib-aib dari sifat buruk seperti sombong, angkuh, iri dan dengki serta suka adu domba. Juga tidak boleh lagi menampakkan sifat-sifat kehewanan yang serakah, buas, agresif dan suka menyerang serta tak tahu diri karena merasa paling hebat. Kenapa nggak boleh, karena sudah menutupi diri dengan jubah," jelasnya.

Dengan berjubah kita juga tidak akan bisa lagi melihat aib orang lain, karena jubah adalah baju kebesaran yang jadi simbul baiknya ahlak seseorang. Meskipun di negeri Arab, jubah juga dipakai para penjual kaki lima di pasar dan juga dipakai para penipu dan pencopet di bus.

Sebagai bangsa Indonesia yang mencintai budaya sendiri sudah seharusnya kita mencontoh para ulama Nusantara yang mampu memakai jubah di waktu dan tempat yang tepat. Para ulama dan kiai yang bertahun-tahun mengaji di negeri-negeri Arab dan berjubah saat belajar, serta pasti alim dan tabahhur fieddien, ketika kembali dan sampai di Indonesia kembali mengenakan pakaian budaya Indonesia yakni sarung.

"Apakah mereka benci jubah? Tidak, mereka tau menempatkan jubah di tengah masyarakat dan jama'ahnya. Jubah kebesaran itu dipakai saat akan shalat di rumahnya atau mengimami shalat jama'ah di pesantrennya, mengajar para santrinya, dan acara-acara khusus untuk ikroman (memulyakan) misalnya saat kedatangan tamu agung dari negeri Arab. Di luar itu semua, para kiai akan melepas jubah itu dan berganti sarung," terangnya.

Bahkan banyak sekali para kiai tak menampakkan bekas mereka pernah tinggal dan mengaji di negeri-negeri Arab. Beliau bahkan tak pernah memakai jubah di depan publik, kecuali hanya saat shalat tahajud dan solat fardiyyah di rumah.

"Ada banyak sekali kiai yang bersikap demikian, Mbah Moen, Gus Mus, Kiai Said dan kiai-kiai besar dan alim lainnya," terang Pengasuh Pesantren Skill Jakarta ini kepada NU Online.

Oleh karenanya, ia pun mengajak umat Islam untuk tidak menilai orang dari tampilan fisik dan pakaiannya. Belum tentu yang berjubah alim dan tahu semuanya tentang agama.

"Dont judge from the cover. Jowone, ojo ndeleng wong kui songko njobone utowo klambine. Kalau bahasa haditsnya, Innallaha la yandzuru ila ajsamikum wala ila suwarikum, walakinnallaha yandzuru ila qulubikum. Wallahu A'lam," pungkasnya. (Muhammad Faizin)