Nasional

Tiga Hal yang Membuat NU Besar menurut Gus Yahya

Sen, 28 Maret 2022 | 17:52 WIB

Tiga Hal yang Membuat NU Besar menurut Gus Yahya

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf . (Foto: NU Online/ Suwitno)

Jakarta, NU Online
Nahdlatul Ulama (NU) merupakan kepanjangan tangan dari berbagai perbuatan baik yang telah dilakukan oleh para kiai-kiai terdahulu yang berhasil membentuk lingkaran intelektual dan kepemimpinan tradisional. Sementara NU sebagai jamiyah (organisasi) memberi wadah bagi lingkaran intelektual dan kepemimpinan tradisional itu.


Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) menyebut, tokoh seperti Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari telah menjadi ‘supreme kiai’ atau ulama yang memiliki kekuasaan tertinggi sebelum ditunjuk sebagai Rais Akbar NU. Struktur organisasi NU hanya mengikuti struktur faktual dari jaringan para kiai terdahulu.


Gus Yahya menegaskan, etos paling dasar dari keberadaan NU saat ini haruslah mencerminkan etos dasar para kiai. Bahkan, Gus Yahya mengatakan bahwa NU menjadi sangat besar bukan hasil dari strategi organisasi, karena pada faktanya tidak pernah ada strategi organisasi.


Jika ditelisik lebih dalam, lanjutnya, kebesaran NU merupakan hasil dari dinamika tradisional yang terdapat pada jamaah, yakni yang telah lama ditekuni oleh kiai-kiai NU selama ini. Secara tradisi, dinamika tradisional itu diturunkan atau diwariskan, dari guru ke murid.


Sebenarnya menurut Gus Yahya, terdapat tiga hal yang membuat NU menjadi semakin besar dan terus membesar lantaran terus mempertahan etos dasar perjuangan para kiai terdahulu. Pertama, ilmu. Sebab seseorang bisa menjadi kiai karena memiliki ilmu.


“Kita disebut Nahdlatul Ulama karena anggota-anggotanya punya ilmu. Maka kita bisa lihat kiai-kiai itu sangat disiplin dalam ilmu, tidak ada yang berani ngawur. Semua berdasarkan ilmu, bertindak tidak boleh ngawur,” kata Gus Yahya dalam agenda penutupan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) PBNU di Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat, yang berlangsung pada Kamis-Jumat (24-25/3/2022) pekan lalu.


Kedua, ri’ayatul ummah atau membimbing umat. Ditegaskan Gus Yahya, tradisi ulama menjalankan fungsi untuk membimbing umat itu hanya ada di Nusantara, tidak ada di tempat lain.


Di negara-negara lain, ulama hanya akan menjaga dan mengajarkan nilai-nilai agama, memberikan fatwa, dan mengembangkan ilmu. Sementara fungsi ri’ayatul ummah menjadi domain yang sepenuhnya diserahkan kepada raja-raja, bukan tugas ulama.


“Di tempat lain tidak ada ulama sampai ngurusi sapinya orang kampung, keluarganya orang-orang atau jamaah. Yang ada hanya di sini. Ini yang mengikat antara kiai dengan umat,” jelas Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Leteh, Rembang, Jawa Tengah itu.


“Dua etos ini harus kita proyeksikan di dalam organisasi. Harus dijalankan dengan ilmu, jangan ngawur, jangan hanya membuat daftar keinginan, tetapi harus kita kelola dengan ilmu, data yang jelas, informasi yang jelas, analisis yang valid, dan keputusan-keputusan strategis yang bisa dipertanggungjawabkan dengan ilmu,” tegasnya.


Gus Yahya juga mengajak seluruh pengurus untuk menegakkan fungsi ri’ayatul ummah. Bahkan menurutnya, fungsi tersebut menjadi kewajiban bagi organisasi untuk diwujudkan dengan sebenar-benarnya. Ia mengatakan bahwa yang terjadi selama ini, jamiyah NU hanya memanen pengaruh dari para kiai pendahulu.  


“Citra dan pengaruhnya selalu kita panen, tetapi kita tidak pernah menanam dengan menjalankan fungsi ri’ayah,” tegasnya.


Di samping itu, terdapat fungsi ketiga yakni ikhlas. Inilah yang menjadi faktor NU menjadi organisasi besar yang terus membesar. Menurut Gus Yahya, persoalan ikhlas ini di lingkungan NU sudah bukan lagi menjadi moralitas pribadi, tetapi menjadi tradisi. Bahkan ia menyebut NU sebagai peradaban ikhlas.


“Ikhlas ini harus kita tegakkan karena di sini sumber barakah dari perjuangan para kiai. Kalau kita melakukan dengan landasan ikhlas, maka akan menghadirkan barakah dan manfaat yang tidak terduga. Karena amal, kita hidup dan bisa menghasilkan manfaat, meskipun kita sudah berhenti beramal,” ujar Gus Yahya.


Ketiga fungsi itu, lanjutnya, perlu diingat dan tidak lagi menjadi sesuatu yang asing bagi NU. Para pengurus NU perlu membawanya dengan praktik keterlibatan fungsi-fungsi tersebut di dalam berorganisasi.


“Kita ber-jamiyah (berorganisasi) harus dengan ilmu untuk melaksanakan fungsi ri’ayatul ummah dan kita melakukannya dengan landasan insyaallah ikhlas lillahi ta’ala,” pungkas Gus Yahya.


Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Muhammad Faizin