Nasional

Tiga Kekaguman Negara Luar kepada Islam Indonesia

NU Online  ·  Ahad, 5 Mei 2019 | 01:30 WIB

Jakarta, NU Online
Sejumlah negara mengagumi perkembangan demokrasi di Indonesia. Kendati Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah penduduk cukup besar, dan di dalamnya terdapat aneka budaya, bahasa, suku, dan bahkan agama, namun tetap aman.

Menurut Mustasyar PBNU, Masykuri Abdillah, kondisi yang demikian itu membuat Indonesia berhasil mendapakan predikat sebagai negara paling demokratis di dunia. Dikatakannya, ada beberapa faktor yang menjadikan Indonesia sebagai negara paling demokratis. Pertama, umat islam di Indonesia cenderung sangat toleran. Kedua, muslim di Indonesia menerima . Ketiga, muslim di Indonesia menerima demokrasi.

Atas tiga indikator itu, kemudian banyak peneliti dari berbagai belahan dunia ingin melakukan penelitian di Indonesia, termasuk dari negara barat sekalipun. Bahkan, keinginan mahasiswa luar negeri melanjutkan studinya di Indonesia kian melonjak signifikan.

"Indonesia dinilai sebagai negara muslim paling demokratis di dunia. Saya kebetulan juga meneliti beberapa negara terutama yang saya lihat di Tunis, saya juga datang ke Turki. Tetapi Indonesia lebih maju dalam berdemokrasi, ada yang mendekati itu adalah Maroko. Namun karena masih kerajaan, Maroko kami tidak menggangpanya sebagai contoh disini.  Ini (Indonesia sebagai negara muslim paling demokratis) adalah berkat peran para tokoh ulama juga," katanya saat memberikan materi dalam  Multaqo Ulama, Habaib dan Cendekiawan Muslim di Hotel Kartika Chandra di Jl Gatot Subroto Kav 18 Jakarta Selatan, Jumat (3/5) malam. 

Profesor bidang hukum Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini menilai, hal tersebut sekaligus merubah persepsi tokoh Islam luar negeri soal Islam Indonesia. Ia bercerita, tiga puluh tahun yang lalu dirinya bertemu dengan tokoh ulama luar negeri. Mereka mengatakan Islam Indonesia bukanlah Islam yang hakiki karena ada kurafat, bid'ah dan sebagainya. 

"Sekarang mereka menganggap Islam di Indonesia sudah sama dengan negara muslim lain, justru yang beda itu negara yang mengikuti salafi dan wahabi,"  tuturnya.

Penilaian yang keliru soal Indonesia itu, kata Masykuri, disebabkan oleh minimnya komunikasi ulama Indonsia dengan ulama luar negeri. Namun seiring berjalannya waktu yang diikuti dengan komunikasi dan penjelasan terkait muslim Indonesia, pandangan mereka berubah. Bahkan, kini di negara Islam seperti Maroko dan Turki telah digelar amalam amalan yang kerap dilakukan di Indonesia seperti Shalawatan, wiridan dan amalam yang sering disebut bid'ah oleh sebagian kalangan. 

"Itu saya lihat sendiri, ini persepsi yang luar biasa, dari sisi pemahaman keagamaan kita menjadi positif terhadap Indonesia dan praktik demokrasi menjadi positif terhadap Indonesia, kecuali kelompok tertentu yang ingin mendirikan Khilafah," ungkapnya. 

Ia menyimpulkan modal utama dari penilaian positif tersebut adalah toleransi yang diajarkan oleh ulama-ulama Nusantara. Seperti dijelaskan oleh Kiai Hasyim Asy'ari dalam Kitab Fathul Mubin, yang menekankan dua aspek, yaitu persatuan dan persaudaraan. 

Kemudian itu diterjemahkan oleh ulama-ulama selanjutnya menjadi ukhuwah islamiyah, ukuwah whatoniyah dan ukhuwah islamiah. Namun, yang lebih mendominasi adalah ukhuwah insaniyah, bukan basyariah. 

"Karena basyariah  konsep idiologis,  sedangkan konsep insaniyah adalah konsep sosilogis," ujarnya. 

Yang juga penting untuk diketahui bangsa Indonesia, lanjut mantan Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta ini, konsep itu diadopsi oleh negara luar seperti Qatar dan sejumlah lembaga luar seperti Al-Azhar.  

"70 tahun lalu kita sudah menerapkan ini,  dan baru diadopsi dunia Islam pada saat ini," tutupnya. (Abdul Rahman Ahdori/Aryudi AR)