Nasional

Toleran Sejak dari Salam

Sab, 21 Oktober 2023 | 19:00 WIB

Toleran Sejak dari Salam

Gerbang Mahligai Pesisir di perbatasan Singkawang - Sambas, Kalimantan Barat, Kamis (19/10/2023). (Foto: NU Online/Syakir NF)

Singkawang, NU Online

Adil ka talino. Bacuramin ka saruga. Basengat ka jubata.

Rangkaian kalimat di atas adalah salam khas Dayak. Namun, salam ini juga menjadi salam yang disampaikan dalam setiap pembukaan pidato di Kota Singkawang. Salam ini dijawab dengan kata, “Arus!"


Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Singkawang H Edy Purwanto Achmad menyampaikan bahwa salam tersebut berasal dari Bahasa Dayak. Adil ka talino berarti adil terhadap sesama. Becuramin ka suraga berarti becermin ke surga. Basengat ke jubata berarti bernafaskan Tuhan.


Jubata itu Tuhan. Jadi, apa yang kita lakukan itu harus adil terhadap sesama dengan tetap ingat Tuhan dan bertujuan surga,” katanya kepada NU Online pada Kamis (20/10/2023).


Sementara Arus sendiri berarti tanda kesepakatan. Maksudnya, setiap insan harus berlaku sebagaimana kalimat tersebut, yaitu bersikap adil terhadap sesaman dengan menjadikan surga sebagai cerminan dan setiap tindak-tanduknya bernafaskan Tuhan.


Salam tersebut terefleksikan dalam kehidupan sosial di Singkawang. Masyarakat dengan keragaman latar belakang dapat hidup dengan rukun. Bahkan, kota dengan “Seribu Kelenteng” ini mendapatkan predikat paling toleran menurut Setara Institute.


Edy juga menyampaikan bahwa Singkawang memiliki tiga pintu masuk ke kotanya. Tiga gerbang kota itu menggambarkan tiga etnis di kota tersebut, yakni Tionghoa, Dayak, dan Melayu.


Gerbang yang menggambarkan Tionghoa berbatasan langsung dengan Mempawah. Sementara perbatasan dengan Bengkayang dibangun dengan penggambaran Dayak. Gambaran Melayu sendiri terdapat di perbatasan Singkawang dengan Sambas.


“Ini gerbang Mahligai Pesisir,” katanya menunjukkan gerbang tersebut saat hendak melalui perbatasan Singkawang-Sambas.


Pj Walikota Singkawang Sumastro menyampaikan bahwa perjalanan masa lalu menjadi modal penting dalam membangun interaksi sosial yang penuh kerukunan dengan nilai kebinekaan.


Hal ini, menurutnya, penting sebagai bentuk penguatan secara berkesinambungan yang bermanfaat bagi Singkawang. Sebab, ke depan, penduduk Singkawang akan berhadapan dengan persaingan dan keperluan pengembangan kapasitas diri.


“Kita ingin masyarakat Singkawang lebih sejahtera, semakin terbuka, dan semakin berpikiran jauh ke depan untuk mengelola perubahan demi perubahan,” katanya.


Sumastro menegaskan bahwa konflik hanya melahirkan dampak negatif. Orang-orang menjadi enggan berkunjung karena ketidakamanan dan ketidaknyamanan yang timbul. Karenanya, hidup damai harmonis tentu lebih membahagiakan dan menimbulkan ketenangan hidup.


“Kita berpikir jernih. Ke depan, kita akan menata kehidupan yang jauh lebih sehat, manusiawi, kekeluargaan, melihat segala sesuatu pada aspek kemanfaatannya,” ujarnya.


Pasalnya, manusia sesungguhnya membutuhkan ketenangan kedamaian dan persaudaraan sejati. ”Ini kira sampaikan sebagai sistem nilai,” lanjut pria yang sebelumnya menjabat sebagai Sekretaris Daerah (Sekda) Singkawang itu.


Keamanan dan kenyamanan serta ketenangan, menurutnya, dapat melahirkan kreativitas. Hal itu menjadi nilai tambah untuk peningkatan satu kualitas hidup dan penghasilan, di antaranya dengan orang ramai datang.


“Dengan kedatangan para wisatawan terutama pada akhir pekan itu menimbulkan kreativitas anak muda untik berjualan kuliner, kerajinan, atraksi kesenian dalam bentuk gitar akustik ataupun tari dan seni lainnya,” katanya.


Atmosfer demikianlah yang hendak ia terus kembangkan ke depan di kota yang tengah dipimpinnya ini. Hal ini bakal dibangun melalui Peraturan Daerah (Perda). Sebab, toleransi dan nilai -nilai inklusivitas akan berdampak pada perbaikan sektor ekonomi. “Gejolak sosial timbul akan menjadi sasaran penurunannya ekonomi pula,” ujarnya.


Pengakuan dan Gus Dur
Sementara itu, Walikota Singkawang 2017-2022 Tjhai Chui Mie menceritakan susahnya menjadi warga keturunan Tionghoa pada masa Orde Baru. Dalam hal administrasi, misalnya, banyak yang harus diurus. Terlebih jika terlambat, maka harus maju ke pengadilan lebih dahulu. Namun, hari ini sudah tidak lagi ada hal demikian.


Bukan hanya ketiadaan itu, tetapi ia sebagai warga keturunan Tionghoa juga bisa memimpin suatu daerah. “Apalagi saya sudah bisa memimpin satu daerah. Hilang diskriminasi itu,” katanya.


Ia juga menyebut sosok KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai salah seorang yang meletakkan fondasi penting bagi penerimaan terhadap warga keturunan Tionghoa dan budayanya. Sebab, di masa kepresidenan Gus Dur itulah, perayaan Imlek yang semula hanya boleh digelar di halaman vihara saja, dapat dilangsungkan secara besar-besaran.


“Ini satu keputusan yang justru membuat kita bisa menikmati cerita Imlek,” ujarnya.


“Itu keputusan kebanggaan. Tentu ini digunakan untuk kebersamaan kita juga, saling menghormati, menghargai, toleransi, untuk menjaga Indonesia,” lanjutnya.