Nasional

Viral Minum Kencing Unta, Kiai Cholil: Banyak Ustadz Maksimalkan Pengaruh dengan Medsos

Ahad, 7 Januari 2018 | 14:07 WIB

Jakarta, NU Online
Beberapa waktu lalu viral sebuah video seorang ustadz yang sedang meminum air kencing unta yang dicampur dengan susu. Ia menyebutkan, meminum air seni hewan padang pasir tersebut berkhasiat bisa menyembuhkan kanker dan baik untuk pencernaan. Terkait hal itu, ustadz tersebut juga mengatakan bahwa apa yang dilakukannya itu ada dalilnya, yaitu hadist Nabi Muhammad.  

Menanggapi hal itu, Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Cholil Nafis menilai, saat ini ada banyak ustadz yang menggunakan media sosial –bahkan politik- untuk memaksimalkan pengaruh dan menyebarkan paham keislaman yang diusungnya.  

“Saya hanya melihatnya dari fenomena sekarang yang banyak ustadz berebut masuk televisi dan menggunakan medsos untuk memaksimalkan pengaruh pahamnya,” kata Kiai Cholil kepada NU Online, Ahad (7/1).

Kiai Cholil menjelaskan, ada perbedaan pendapat terkait dengan meminum air kencing unta. Namun, mayoritas ulama (jumhur ulama) khususnya Mazhab Syafi’i dan Hanafi bersepakat bahwa benda yang keluar dari tubuh hewan baik lewat kemaluan depan atau belakang adalah benda najis. Baik hewan itu halal dagingnya, atau hewan itu tidak halal. Sehingga mengonsumsi kotoran hewan itu adalah haram. 

"Ya memang ada yang tak jijik dengan kencing unta. Kalau saya pribadi sih jijik," ucapnya.

Lulusan Universitas Malaya ini mengatakan, kenajisan kotoran hewan didasarkan pada hadis Nabi Muhammad berikut:

Nabi SAW meminta kepada Ibnu Mas’ud sebuah batu untuk istinja’, namun diberikan dua batu dan sebuah lagi yang terbuat dari kotoran (tahi). Maka beliau mengambil kedua batu itu dan membuang tahi dan berkata,”Yang ini najis”. (HR. Bukhari)

Sedangkan, lanjut Kiai Cholil, hadist yang menerangkan bahwa Nabi Muhammad membolehkan salah seorang sahabat meminum air seni unta sebagai pengobatan adalah karena darurat saja. Baginya, meminum air kencing unta adalah sesuatu yang tidak lazim.  

“Sejorok-joroknya orang Arab atau penggembala unta, tidak ada yang mau minum air kencingnya, apalagi kotorannya,” ungkapnya.

Tidak najis

Kiai menyebutkan, Mazhab Hanbali menilai air kencing dan kotoran hewan yang halal dagingnya atau air susunya adalah bukan termasuk benda najis seperti kotoran ayam, unta, sapi, kerbau, dan lainnya. 

Bagi umat Islam Indonesia yang mayoritas menganut Mazhab Syafi’i atau mereka yang tidak bermazhab tentu sangat asing dengan persoalan kotoran hewan tersebut. Akan tetapi mereka yang menganut Mazhab Hanbali dan mempelajarinya, menganggap persoalan tersebut adalah hal yang biasa-biasa saja. Mereka yang mendasarkan kotoran hewan tidak najis mendasarkan pada hadist Nabi yang mengizinkan salah seorang sahabat meminum air kencing sebagai obat. 

Menurut Kiai Cholil, ada tiga kemungkinan kenapa Nabi Muhammad mengizinkan salah seorang sahabatnya meminum kencing unta untuk penyembuhan. Pertama, darurat. Kalau alasannya adalah darurat, maka sifatnya sementara, subjektif dan tentatif. Dalam hal darurat, sesuatu yang asalnya haram bisa berubah menjadi halal, termasuk memakan bangkai.

Kedua, hukum khusus. Karena hadits minum air kencing unta ini termasuk hadits yang berbenturan dengan umumnya hadits tentang najisnya air kencing, maka sebagian ulama ada yang memandang bahwa ada pengecualian hukum dalam kasus-kasus tertentu seperti haramnya puasa wishal, beristri lebih dari empat dalam satu waktu, dan lainnya. Tetapi ada hadist yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad sendiri puasa wishal dan menikah lebih dari empat wanita. 

Ketiga, sudah dihapus hukumnya. Bisa saja apa yang dulu itu halal dan boleh, kemudian seiring dengan berjalannya waktu, syariat Islam kemudian mengharamkannya seperti nikah mut’ah. Begitu pun dengan minum kencing unta. Mungkin saja awalnya itu dibolehkan, namun seiring dengan proses tasyri’, kemudian hukumnya berubah menjadi haram.

Kiai Cholil menambahkan, perbedaan pendapat di dalam Islam itu adalah sesuatu yang tidak bisa dipungkiri. Ia menghimbau agar masing-masing yang berbeda pendapat bisa saling menghormati antara yang satu dengan yang lainnya. 

Namun, ia menegaskan, baik Mazhab Hanbali atau pun mazhab di luarnya bersepakat bahwa berobat dengan sesuatu yang haram atau najis itu hukumnya tidak dibenarkan dan haram. Hal itu didasarkan pada hadist Nabi Muhammad;

Sesungguhnya Allah SWT menurunkan penyakit dan juga obatnya. Dan Allah menjadikan semua penyakit ada obatnya, maka berobatlah tetapi jangan berobat dengan yang haram. (HR. Abu Daud). (Muchlishon Rochmat)