Opini

Aswaja Dari Teologi Sampai Ideologi Gerakan

Rab, 28 Mei 2003 | 09:04 WIB

Oleh : Abdul Mun'im DZ
Bagian I

Sebagaimana aliran lain yang lahir pada abad pertengahan, Ahlussunnah waljama'ah merupakan aliran yang holistik (menyeluruh), Aswaja mencakup pandangan tentang realitas (ontology), pandangan tentang pengetahuan dan pandangan tentang tata nilai (aksiologi), kemudian masih dilengkapi lagi pandangan mengenai masa depan yang dijanjikan (eskatologi). Pandangan holistik, berasumsi bahwa sebuah aliran mampu menjawab dan mengatur segala aktivitas manusia di segala bidang, pandangan itu memang merupakan ciri khas dari pemikiran skolastik. Sementara pandangan holistik tentang Aswaja itu oleh kalangan NU dirumuskan, sebagai landasan berpikir, bersikap dan bertindak, Sedangkan kalangan Islam revivalis merumuskan Aswaja sebagai teori dan praktek yang menyangkut dimensi lahir dan batin. Pandangan yang serba meliputi itu dirinci dalam berbagai disiplin keilmuan dan agenda kegiatan sosial. Oleh kanem itu dalam pengertian kontemporer Aswaja tidak hanya meliputi doktrin teologi (akidah). tetapi telah dikembangkan sebagai ideologi pembaruan social.

<>

Walaupun Aswaja mengklaim sebagai system yang menyeluruh. tetapi sulit sekali menemukan kitab atau literatur, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Arab yang membahas atau memaparkan pandangan Aswaja yang menyeluruh seperti yang mereka klaim selama ini. Aswaja yang dirutuskan KH. Hasyim Asy'ari(1)  misalnya, walaupun telah mencakup bidang akidah, fikih dan tasawuf, tetapi tidak mencakup bidang filsafat dan politik, walaupun bidang politik ini juga dibahas di lain kesempatan, dalam Resolusi Jihad misalnya, bisa dimasukkan dalarn sistem Aswaja yang ia bangun. Kemudian kalangan NU sebagaimana lazimnya melihat bahwa filsafat NU adalah Ghazalian sementara politiknya Mawardian dan sebagainya. Semuanya itu lebih banyak dipraktekkan ketimbang dirumuskan secara konseptual.

Upaya menyusun Aswaja secara sistematis sebagai sebuah aliran pemikiran dan gerakan yang holistik telah banyak diupayakan, seperti yang digagas oleh Lakpesdam Yogyakarta dengan bukunya Teologi Pembangunan (1988)(2). Kritik serius yang diarahkan pada Aswaja konvensional itu akhirnya juga direspon oleh para ulama NU yang berusaha mendefinisikan kembali Aswaja secara lebih mencakup. Tetapi usaha ini banyak mendapat sandungan karena para ulama masih belum beranjak dari konsep lama yang melihat Aswaja hanya sebatas akidah.(3) Kemudian juga dalam buku yang ditulis oleh PBPMII, (1997)(4) yang hampir mencakup seluruh aspek kehidupan, hanya sayangnya karena lemahnya kerangka filosofis, maka berbagai aspek yang diuraikan antara pandangan Aswaja di bidang keilmuan, social, politik dan ekonomi tidak saling berkaitan, secara logis, karena lebih menekankan segi-segi aktivismenya. Dalam karya Syeikh Abdul Hadi al Misri,(5) sebenarnya berpretensi menampilkan Aswaja yang utuh, tetapi sekali lagi ia gagal menjelaskan relasi Aswaja dengan perkembangan masyarakat kontemporer, akhirnya kembali pada tradisi lama, yang hanya berputar di sekitar pembahasan akidah. Sementara Karya Ali Asghar lebih menekankan dimensi aktivismenya, maka ia hanya mengekspos segi-segi pembebasan dari doktrin Islam. Sebenarnya yang cukup lengkap adalah yang dirumuskan oleh Hassan Hanafi, hanya saja tersebar di berbagai kitab sehingga perlu  perhatian khusus untuk memahaminya.

Uraian di atas menunjukkan bahwa sebagai upaya untuk mewujudkan klaim bahwa aswaja merupakan ajaran yang holistik. masih merupakan agenda dan masih perlu digarap serius. Pandangan semacam itu diperlukan agar Aswaja peduli dengan perkembangan masyarakat kontemporer, baik dari segi pemikiran keilmuan hingga ke masalah pergerakan sosial politik, untuk menegakkan keadilan dan menjunjung nilai-nilai kemanusiaan. Karena itu Aswaja tidak lagi bisa diterima apa adanya, sebagaimana ketika diwariskan oleh para leluhur kepada kita, melainkan diperlukan reformulasi dan terobosan baru, sesuai dengan perkembangan aspirasi umat manusia dewasa ini.

Gerakan Aswaja kontemporer bukan lahir dari persoalan pemahaman terhadap doktrin, tetapi lebih didorong oleh terjadinya pergumulan sosial yang terjadi di Dunia Ketiga pada umumnya dalam menghadapi represi dari negara otoriter dan eksploitasi dari kapitalisme dunia atas nama pembangunan dan kemajuan. Maka di situlah gerakan teologi kontemporer merumuskan agenda emansipasi social, dan berusaha menciptakan persaudaraan kemanusiaan universal (ukhuwah insaniyah) sementara Aswaja klasik sangat menekankan doktrin najiyah-, sehingga tanpa disadari menjadikan Aswaja sebagai doktrin yang eksklusif, yang menuduh aliran lain sebagai sesat, bahkan kafir, padahal aliran ini megklaim diri bersikap kejamaahan (inklusif), rnaka sikap najiah bertentangan dengan prisip jamaah. Maka gerakan baru ini mempertegas Aswaja dengan prinsip kejamaahan serta menolak doktrin najiah yang mengeksklusi pihak lain di luar kelompoknya secara semena-mena. Dengan berpegang pada prinsip jamaah tidak berarti mengikuti ajaran mereka, melainkan menjadikan mereka yang berbeda sebagai mitra dialog dalam mencari kebenaran.

Selanjutnya juga terjadi