Opini

Az-Zahrul Basim, Kitab Maulid Nabi Berbahasa Melayu Betawi

Kam, 14 November 2019 | 16:50 WIB

Az-Zahrul Basim, Kitab Maulid Nabi Berbahasa Melayu Betawi

Ilustrasi manuskrip kuno (NU Online)

Kitab Az-Zahrul Basim ditulis oleh Sayyid Utsman bin Yahya. Sayyid Utsman lahir pada awal Desember 1822 M di Pekojan, Batavia (diganti Jakarta setelah Jepang masuk pada akhir 1941). Dari garis ibu, Sayyid Utsman adalah cucu Syekh Abdurrahman Al-Mishri, salah seorang ulama terkemuka di zamannya. Ia menulis banyak masalah keagamaan dengan pelbagai cabang ilmu. Ia wafat pada pertengahan Januari 1914 M dan dimakamkan di Jakarta.
 
Kitab ini bernama Az-Zahrul Basim fi Athwari Abil Qasim shallallahu alayhi wa sallam. Kitab ini ditulis dengan aksara Jawi yang berbahasa Melayu Betawi. Kitab ini terdiri atas 60 halaman. Setelah kitab ini dilampirkan doa Mi‘raj berbahasa Arab sebanyak dua halaman dan tertulis penyalin atas nama Ikafah Sa‘ad. Lampiran berikutnya adalah teks Shalawat Badar sebanyak dua halaman.
 
Kitab ini sengaja disiapkan untuk masyarakat berbahasa Melayu, khususnya Melayu Betawi karena kegemaran mereka pada shalawat dan maulid. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari pandangan keagamaan mereka yang berpaham Ahlussunnah wal Jamaah dan umumnya berafiliasi kepada Nahdlatul Ulama yang memang awalnya gemar zikiran, manakiban, ratiban, dan shalawatan sebagaimana disampaikan Zeffry Alkatiri perihal tradisi masyarakat Betawi, (Alkatiri, Jakarta Punya Cara, [Depok, Masup Jakarta: 2012]).
 
"Masyarakat Betawi di Jakarta dikenal sebagai penganut Islam Ahlussunnah wal Jamaah yang dipengaruhi oleh unsur tradisi budaya setempat. Oleh sebab itu, Islam di Betawi sangat dekat dengan paham atau aliran Nahdlatul Ulama (NU) yang menekankan perlunya mengingat dan memberikan puji-pujian dan shalawat kepada Nabi Besar Muhammad Saw. Shalawat ini khususnya diutarakan pada setiap menjelang sholat Maghrib, Shubuh, dan sebelum shalat Jumaat. Sholawat ini akan lebih ditekankan pada acara Maulud Nabi, Isra Mikraj, dan beberapa acara perhelatan." (Alkatiri, 2012: 103).
 
Kitab ini diawali dengan lafal bismillah dan etika pembacaan kitab Maulid. “Bismillāhir rahmānir rahīmi, bermula sebelumnya dimulakan ini kitab maka disebut lebih dahulu di sini akan aturan adab membaca maulud dan mi’raj dengan ini kitab atau lain-lainnya maka adalah aturan itu terkumpul di dalam empat faidah." (Utsman, tanpa tahun: 2).
 
Adapun pada kolofon, tidak terdapat keterangan tempat dan waktu penyalinan. Nama penyalin atas nama Ikafah Sa‘ad tersebut pada akhir doa Mi’raj. Kolofon pada Az-Zahrul Basim hanya menyebutkan sebagai berikut:
 
"Maka inilah penghabisan ini kitab dengan ini hadits yang telah dibuatkannya oleh banyak ulama akan penghabisan segala kitabnya maka baca olehmu hai sekalian yang hadir akan tasbih ini tiga kali dan ‘Subhāna rabbika rabbil ‘izzati ‘amma yashifūn wa salāmun ‘alal mursalīna wal hamdu lillāhi rabbil ‘ālamīna āmīn allāhumma āmīn.’" (Utsman, tanpa tahun: 60).
 
Kitab ini ditulis oleh Sayyid Utsman bin Yahya. Karya ini kemudian dicetak oleh Alaydrus, Jakarta. Karya ini memuat riwayat kelahiran dan perjuangan dakwah Nabi Muhammad SAW hingga peringatan Isra dan Mi’raj. (Utsman, tanpa tahun: 5-56). Penulis juga melengkapi deskripsi fisik, mukjizat, irhash, dan perangai terpuji Nabi Muhammad SAW. (Utsman, tanpa tahun: 56-58). Kitab ini diakhiri dengan sembilan ajaran yang menyangkut kebaikan dunia dan akhirat serta larangan kejahatan dari hadits-hadits nabi. (Utsman, tanpa tahun: 58-60).
 
Kitab ini ditulis dengan pola kitab maulid berbahasa Arab seperti Barzanji, Syarafal Anam, dan lainnya. Setiap babak dipisah dengan lafal shalawat. Lafal shalawat pemisah setiap babaknya berbunyi, "Allāhumma shalli ‘alā sayyidinā wa syafi‘inā Muhammadin wa ‘alā ālihī wa shahbihī wa sallim waj‘alnā min khiyāri ummatihī wa min ahli syafā‘atihī bi rahmatika yā arhamar rāhimīna."
 
Kitab ini sengaja ditulis dalam bahasa Melayu Betawi agar mudah dimenegrti oleh kebanyakan masyarakat. Pasalnya, selama ini kitab maulid yang beredar umumnya berbahasa Arab yang jarang dimengerti. Meski demikian, konten kitab ini bersumber dari Barzanji, Syarafal Anam, syarah keduanya, dan kitab-kitab tafsir untuk kisah Mi’raj. (Utsman, tanpa tahun: 3-4).
 
Unsur Bahasa Melayu Betawi dalam Kitab Az-Zahrul Basim
Salah satu ciri khas Bahasa Melayu adalah konstruksi frasa milik atau frasa genetif yang konon dipengaruhi oleh Bahasa Cina Hokkian seperti ditulis oleh Kay Ikranegara, Tata Bahasa Melayu Betawi, [Jakarta, Balai Pustaka: 1988]) dengan mengutip Shellabar (1913), Lan (1961), dan Milone (1966).
 
"Konstruksi pemilik–puńe–yang dimiliki seperti saye puńe baju 'baju saya,' jarang muncul dalam data saya. Konstruksi ini merupakan tanda pengaruh bahasa Melayu Cina." (Nio Joe Lan 1961: 210, Shellabar 1913: 58).
 
Bentuk itu mengikuti pola bahasa Cina dan pola itu pun terdapat dalam bahasa Bali (pemilik–ŋalah–yang dimiliki) khususnya Bali Timur, menurut informan saya. (Kersten, 1948: 47). (Ikranegara, 280-281, 283).
 
Nio Joe Lan (Lan, Sastera-Indonesia Tionghoa, [Jakarta, Gunung Agung: 1962]) mengatakan bahwa bahasa Melayu Tionghoa-Peranakan memberikan pengaruh pada bahasa Melayu Rendah, terutama pada konstruksi frasa milik atau frasa genetif meski ia mengakui bahwa konstruksi frasa genetif sudah lazim di Maluku.
 
"Dalam pertjakapan-pun terdengar pengaruh bahas Tionghoa. ‘Buku saja,’ misalnja, disebut orang Tionghoa-Peranakan ‘Saja punja buku,’ jang djelas bersifat Tionghoa, walaupun di Indonesia bentuk ini umum di Maluku," (Lan, 1962: 17).
 
Adapun konstruksi frasa milik atau frasa genetif menurut Muhadjir, Bahasa Betawi: Sejarah dan Perkembangannya, [Jakarta, Obor: 2000]) merupakan gejala umum bahasa Melayu pada Nusantara dari belahan Timur ke Barat. Artinya, tidak mudah untuk mengatakan konstruksi frasa milik atau frasa genetif sebagai pengaruh bahasa Cina Hokkian.
 
"Hal yang paling menonjol bila kita membaca atau mendengar ucapan penutur bahasa Melayu mulai dari Jakarta hingga ke Ambon adalah adanya konstruksi frasa milik atau frasa genetif yang menggunakan kata 'punya' atau kata lain yang semakna, seperti kita punya orang tua 'orang tua kita,' ayah punya tetangga 'tetangga ayah."(Muhadjir, 2000: 23-29, 32-33, 85-86, 101).
 
Frasa milik atau frasa genetif bahasa Melayu itu dapat ditemukan dalam Kitab Az-Zahrul Basim, yaitu frasa 'punya lama' pada :Syahdan lagi sebelumnya diperanakkan Rasulullah shallalahu alayhi wa sallam pada masa lima puluh hari punya lama dengan setengah riwayat ulama, maka datang raja kafir dari Yaman namanya Abrahat datang ke negeri Mekkah hendak merubuhkan Ka‘bah baytullah." (Utsman, tanpa tahun: 11), dan frasa 'punya datang' pada "Maka berkata Abrahat, ‘Aku punya datang kemari karena merobohkan Ka'bah. Maka apa engkau punya permintaan sekarang?'" (Utsman, tanpa tahun: 12).
 
Kekhasan lain pada bahasa Melayu secara umum adalah kata penentu atau demonstrativa ini dan itu baik sesudah maupun sebelum nomina. "Berlainan dengan penentu dalam bahasa Inggris, dalam bahasa Betawi penentu bisa muncul dengan pronomina, dan umumnya muncul dengan frasa posesif dan nomina umum. Kata tersebut mungkin muncul baik sebelum maupun sesudah frasa nominal." (Ikranegara, 31, 131-132).
 
Kata penentu ini dan itu merupakan ciri khas bahasa Melayu Betawi dan Bahasa Melayu Timur sebagai penunjuk benda. "Ciri khas kedua yang menandai bahasa Betawi dan bahasa Melayu Timur itu adalah susunan frasa nomina + penentu ini dan itu: ini rumah atau itu pintu, untuk konstruksi rumah itu dan pintu itu." (Muhadjir, 2000: 29-30, 86, 101).
 
Kata penentu 'itu + nomina' dalam Kitab Az-Zahrul Basim dapat ditemukan pada dialog Raja dari Yaman, Abrahat atau Abrahah dan pemuka Bangsa Quraisy, Abdul Muthallib. "Maka berkata Abdul Muthallib, ‘bahwa itu onta aku yang punya.'" (Utsman, tanpa tahun: 12).
 
 
Alhafiz Kurniawan, alumnus Pascasarjana Departemen Susastra Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI.