Opini

Benarkah Rumah Sakit Gemar Mengcovidkan Pasien?

Sab, 3 Oktober 2020 | 06:30 WIB

Benarkah Rumah Sakit Gemar Mengcovidkan Pasien?

Sangat mungkin angka masyarakat yang terinfeksi virus SARS Cov-2 lebih besar dari yang tercatat, baik itu tanpa gejala, atau disertai gejala ringan hingga berat.

Pandemi Covid-19 belum menunjukkan tanda-tanda membaik. Hari-hari belakangan, angka kasus terkonfirmasi harian kerap mencapai lebih dari 4.000 kasus. Di tengah keterbatasan tracing atau pelacakan, serta minimnya pelaksanaan tes swab, sangat mungkin banyak orang yang telah terpapar virus SARS-Cov2 dengan beragam spektrum gejalanya tapi belum terkonfirmasi.

 

Para pakar menyerukan 3 pilar yang mesti diupayakan untuk menekan laju pandemi: test, tracing, dan treatment. Ketiga hal itu diikuti pula peran publik untuk memakai masker dengan benar, mencuci tangan, serta menjaga jarak dari kerumunan.

 

Kasus terkonfirmasi telah merebak di seluruh Indonesia. Terlebih di Pulau Jawa, visualisasi data yang dirilis banyak gerakan masyarakat seperti Kawal Covid maupun Lapor Covid menunjukkan bahwa seluruh area Jawa, telah memerah atau menghitam – menunjukkan angka pasien positif yang sangat besar. Kondisi itu menunjukkan bahwa transmisi lokal memungkinkan kita berpeluang terpapar virus ini. Zona dengan angka kasus terkonfirmasi yang lebih rendah juga mesti dicermati dan tidak mengendorkan disiplin, bisa saja itu dari keterbatasan tes PCR yang dilakukan.

 

Kita semua patut tetap waspada dengan wabah ini. Sayangnya, di tengah kian merebaknya wabah Covid-19, isu yang berkembang di publik semakin liar. Mulai soal isu adanya “mata-mata” yang menggunakan cara tidak menyenangkan, sabotase data, juga ketegangan dengan tradisi dan agama. Banyak mitos dan misinformasi lain yang menambah antipati masyarakat terhadap pelayanan dan penanganan Covid-19 di fasilitas kesehatan.

 

Salah satu isu yang cukup signifikan dan menjadikan antipati masyarakat terhadap pelayanan kesehatan adalah pernyataan: rumah sakit gemar meng-covid-kan dan menjatuhkan vonis Covid pada pasien. Sehingga mudah kita dengar percakapan "Saya, keluarga atau kerabat berobat ke fasilitas kesehatan ini karena sakit dan keluhan A saja, kok bisa-bisanya dibilang Covid? Pasti RS (rumah sakit) suka meng-covid-kan pasien!" Ditambah dengan embusan kabar bahwa RS maupun tenaga kesehatan dipandang mencari keuntungan sepihak dari penanganan Covid-19 ini, masyarakat menuduh RS dan fasilitas kesehatan memanfaatkan para pasien dengan menetapkan mereka sebagai pasien Covid.

 

Ada lapis-lapis masalah yang mungkin perlu diperjelas soal diagnosis Covid-19 ini. Namun tulisan ini membatasi pada persoalan penanganan, yang mungkin disinggung dari dua hal. Pertama, kriteria dan skrining yang dipakai di Indonesia. Kedua, tentang penanganannya di fasilitas kesehatan.

 

Satu hal yang perlu disadari dalam penanganan Covid-19 di Indonesia: tes swab masih terpusat di kota-kota besar, serta pengambilan sampelnya di masyarakat secara langsung sangat minim, apalagi di daerah yang jauh dari pusat kesehatan besar yang lebih memadai. Bisa dikatakan: Covid di Indonesia undertest dan underreport. Sangat mungkin angka masyarakat yang terinfeksi virus SARS Cov-2 lebih besar dari yang tercatat, baik itu tanpa gejala, atau disertai gejala ringan hingga berat.

 

Penemuan kasus suspect/probable ini sangat penting di fasilitas kesehatan, utamanya di rumah sakit. Karena swab tidak keluar dengan hasil cepat, cara untuk memisahkan orang terduga Covid-19 dan yang tidak adalah melalui skrining. Setiap fasilitas kesehatan memiliki perangkat tersendiri untuk skrining ini. Di RSUD tempat penulis saat ini berkegiatan, ada ceklis panjang untuk mengukur risiko pasien Covid-19 dari segi gejala/keluhan, riwayat kontak, pemeriksaan fisik, maupun pemeriksaan penunjang laboratorium serta radiologi.

 

Merujuk Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor Hk.01.07/Menkes/413/2020 Tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) yang dirilis Juli 2020, kriteria epidemiologi yang dipakai di Indonesia adalah suspect, probable, dan terkonfirmasi. Sebelumnya, istilah yang dipakai adalah OTG, ODP, PDP, dan confirmed case. Berdasarkan putusan tersebut, upaya penanggulangan Covid-19 bertumpu pada penemuan kasus suspek/probable, yang dilanjutkan dengan upaya untuk isolasi dan pemeriksaan laboratorium (test). Ketika hasil tes RT-PCR positif dan pasien dinyatakan sebagai kasus konfirmasi, maka tindakan selanjutnya adalah pemberian terapi sesuai dengan protokol.

 

Mari membahas aspek pertama, tentang skrining. Berikut disajikan gambaran kasus: seorang pasien datang atau dirujuk ke rumah sakit karena penyakit yang sebelumnya dirasa tidak terkait Covid. Ketika di rumah sakit, dari anamnesis, pemeriksaan fisik, tidak ada gejala pernapasan yang berarti atau malah tidak mengeluhkan gejala. Ia juga enggan menyebutkan atau tidak tahu tentang riwayat kontak dengan pasien terkonfirmasi positif.

 

Ketika disiapkan untuk dirawat, salah satu dari hasil skrining dari anamnesis, pemeriksaan fisik, diteruskan laboratorium, rapid test, juga rontgen, didapatkan gambaran yang memunculkan dugaan sang pasien terinfeksi Covid-19. Pasien maupun keluarganya yang sebelumnya tidak mengeluhkan apa-apa terkait gejala penyakit ini, terkejut dengan penjelasan soal dugaan tersebut.

 

Jika pasien perlu dirawat, beberapa fasilitas kesehatan yang cukup lengkap dan memiliki ruang isolasi melakukan skrining mendalam dari gejala, riwayat kontak, juga pemeriksaan laboratorium dan rontgen dada untuk memastikan apakah ada gambaran spesifik pneumonia (radang paru) atau tidak.

 

Salah satu peranti skrining yang juga digunakan di Indonesia adalah rapid test antibodi IgG dan IgM. Perlu diketahui bahwa hasil dari rapid test hanyalah reaktif atau non-reaktif. Hasil reaktif hanya menunjukkan kemungkinan pasien pernah atau sedang terinfeksi virus SARS-Cov-2, dibaca dari reaksi imunitas dalam darah yang terbaca di alat tersebut. Sedangkan jika didapatkan hasil non-reaktif, hal itu belum meniadakan kemungkinan bahwa ia terbebas dari virus. Kerap terjadi kesalahpahaman terkait hasil rapid test, disangkakan bahwa pemeriksaan Covid cukup berhenti di rapid test saja.

 

Selain skrining lewat rapid test, rontgen dada juga digunakan karena salah satu gejala pada banyak pasien Covid-19 adalah adanya peradangan paru. Namun Covid-19 ini memang unik: meski dari gambaran rontgen paru tampak ada gambaran peradangan, pasien bisa tanpa gejala seperti sesak atau batuk. Bisa saja gejalanya hanya pilek atau meriang, atau malah tanpa gejala sama sekali.

 

Hasil-hasil tersebut akan dikonsultasikan terlebih dahulu ke dokter spesialis Paru. Jika direkomendasikan ia mesti diberi status suspect dulu, maka diperlukan isolasi sampai tegak hasil tes PCR usap tenggorok. Dalam algoritma penanganan, pasien yang berstatus suspek saja mesti dirawat terpisah, sampai terbukti negatif dari PCR.

 

Selanjutnya poin kedua terkait penanganan. Di era pandemi ini, fasilitas kesehatan membatasi pelayanan demi keamanan tenaga kesehatan dan masyarakat, serta publik sendiri mungkin juga khawatir untuk berobat di RS. Untuk kasus-kasus yang tidak emergensi atau membutuhkan penanganan rutin, memang disarankan seminimal mungkin berinteraksi dengan fasilitas kesehatan. Sayangnya bisa saja terjadi hal-hal yang tidak diinginkan sehingga memerlukan penanganan kegawatdaruratan.

 

Pada prinsipnya, pasien yang diduga (suspect) maupun terkonfirmasi Covid-19 harus dipisahkan dengan yang tidak terinfeksi mengingat virus ini mudah menular. Karena itu salah satu aspek penanganan penting Covid adalah isolasi. Baru jika tegak kesimpulan bahwa hasil tes PCR swab tenggorok adalah negatif setelah sebelumnya disuspek dari hasil skrining di atas, ia bisa dipindahkan ke ruang non-isolasi.

 

Cukup pelik tenaga kesehatan mengedukasi pasien atau keluarganya terkait status dicurigai/suspect Covid, namun masyarakat lantas berkesimpulan bahwa pasien ini sudah dinyatakan Covid. Padahal statusnya masih suspect atau dicurigai, berdasarkan gejala, kontak, serta pemeriksaan. Kerap dinyatakan oleh mereka, “Bagaimana mungkin ini Covid?”. Mereka merasa sudah taat protokol, tidak pernah bersinggungan dengan pasien terkonfirmasi, atau jarang bepergian dan menerima tamu. Tapi sekali lagi, transmisi lokal telah terjadi di mana-mana, dan ada saja celah kecil kemungkinan untuk penularan virus, bahkan dari orang yang tampak sehat-sehat saja.

 

Kondisi psikologis dan sosial masyarakat yang beragam turut memengaruhi penerimaan terhadap informasi Covid khususnya di fasilitas kesehatan. Stigma diri dan stigma sosial dari lingkungan tinggal sekitar, sikap denial terkait wabah ini di komunitas terdekat atau bahkan lingkup keluarga, serta kekhawatiran akan disertakan dalam penelusuran kontak untuk memutus rantai penularan – yang bagi sebagian orang, seperti bentuk tuduh-menuduh.

 

Dalam sejarah Indonesia, penyakit menular yang mewabah memang kerap menghadirkan stigma. Masyarakat dulu pernah menimpakan stigma pada penyandang penyakit Tuberculosis - sebelum saat ini banyak orang tahu bahwa penyakit TB ini dapat disembuhkan dengan pengobatan antibiotik rutin jangka panjang. Bisa dipahami bahwa dalam problem urusan sakit, terlebih penyakit-penyakit menular, ada beban ekonomi atau sosial yang harus ditanggung tidak hanya oleh pasien, tapi juga oleh keluarganya. Hal ini juga terjadi dalam masalah Covid ini. Kalangan yang terkonfirmasi positif, kerap kali berusaha menutupi kondisinya rapat-rapat demi marwah keluarga atau lembaga.

 

Demikian pembahasan Covid-19 dari sudut pandang penanganannya di fasilitas kesehatan. Ada lapis-lapis informasi yang berhak dikonfirmasi oleh pasien dari tenaga kesehatan yang menangani, demi keamanan bersama semua pihak – dengan sebaiknya terlebih dahulu meletakkan praduga yang tidak relevan. Tentu setiap fasilitas kesehatan dan daerah memiliki kebijakan masing-masing dalam penanganan pasien, namun keseluruhannya tentu tetap mengacu pada putusan Menkes di atas.

 

Menderita Covid-19 bukan aib, dan tidak pantas distigma. Ia adalah musibah, yang membutuhkan empati dan perhatian bersama. Mengingat angka transmisi lokal di Indonesia wis ora karuan, pahit memang untuk mengakui kita semua berpeluang untuk terpapar dan juga menularkan virus ini ke orang lain. Terkait penanganan di fasilitas kesehatan, sudah hak pasien untuk mengkonfirmasi proses pemeriksaan yang dilakukan, namun tidak perlu dirunyamkan dengan sikap denial dan isu yang tumbuh liar di ranah publik.

 

Kedisiplinan untuk memakai masker dengan benar, rajin cuci tangan dan menjaga jarak dari kerumunan adalah keniscayaan. Serta terakhir, hemat penulis, di suasana pandemi yang belum tak terkendali dan turut dirunyamkan dengan urusan sosial politik, kita perlu memilah dan memilih dengan cermat pernyataan-pernyataan orang yang pantas dan layak didengarkan, meskipun itu pejabat penting atau tokoh agama berpengaruh.

 

 

Muhammad Iqbal Syauqi, dokter alumni UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; alumnus Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences