Opini

Di Balik Upaya Arab Saudi Mendekati NU

Jum, 2 Februari 2018 | 06:02 WIB

Oleh Mulawarman Hannase
Ada sebuah catatan yang sangat menarik untuk diungkap dalam peringatan Hari Lahir Ke-92 Nahdhatul Ulama, Rabu 31 Januari lalu. Catatan ini adalah perihal kehadiran Duta Besar Arab Saudi untuk Indonesia Syekh Osama bin Abdullah As-Suabi dalam haflah yang dihadiri sekitar tiga puluh ribu Nahdhiyyin tersebut.

Kehadiran Duta Besar Arab Saudi di Masjid  Raya KH Hasyim Asy'ari, tempat perhelatan harlah, bukanlah sebuah kehadiran biasa, atau sekadar memenuhi undangan PBNU. Dalam hemat penulis, kedatangan Duta Besar Negara Haramain ini mempunyai misi besar dan agenda tertentu yang begitu serius.

Secara jelas, Arab Saudi lewat duta besarnya menunjukkan sebuah perhatian besar kepada PBNU. Dalam acara harlah yang dirangkai dengan shalat gerhana bulan ini, duta besar yang didampingi oleh empat orang stafnya sejak jam 17.00 sore sudah tiba di Masjid Raya Jakarta. Ia adalah tamu VIP pertama yang dating. Padahal acara inti dijadwalkan jam 20.00 WIB. Meskipun harus menunggu lama, dubes negara kaya minyak ini tetap sabar menanti kedatangan para tamu undangan terutama para ulama dan kiai sepuh dari PBNU.

Tidak seperti di masjid besar lainnya di Jakarta, semisal Istiqlal, Jakarta Islamic Centre, atau Masjid Sunda Kelapa. Fasilitas Masjid Raya Jakarta (MRJ) KH Hasyim Asy'ari masih sangat jauh dari standar. Tidak ada ruangan tamu  VIP dengan sofa empuk dan karpet lembut yang nyaman bagi tamu sekelas duta besar, menteri apalagi presiden. Udaranya terasa panas dan banyak nyamuk yang mengganggu di malam hari. Tapi dubes ini tetap santai menikmati suasana tropis Cengkareng yang cenderung panas itu, menantikan Harlah NU dimulai.

Dalam rangkaian acara, tidak ada porsi waktu yang diperuntukkan kepada Duta Besar Arab Saudi untuk menyampaikan sambutan. Tetapi, pada saat acara berlangsung, melalui H Marsudi Syuhud, ia meminta kesempatan untuk menyampaikan ucapan selamat Hari Lahir NU di depan ribuan jamaah Nahdhiyyin. Tidak hanya menyampaikan sambutan, ia pun juga memberikan cendera mata berupa miniatur Burj Zamzam (Zamzam Tower) yang kelihatan sangat prestisius tersebut kepada Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj.

Ada tiga pesan penting yang disampaikan oleh Syekh Osama As-Suaibi. Pertama, ia menyampaikan pujian kepada Jam'iyyah Nahdhatul Ulama yang telah berjasa dalam berjuang menegakkan Islam di Indonesia dan sangat dicintai jamaahnya.

Kedua, ia menyatakan, "NU adalah jam'iyyah yang mengajarkan Islam wasathiyyah (moderat), mencintai negaranya, mengajak kepada Islam dengan perkataan yang thayyibah (lembut). Saya sangat senang mengenal NU karena mengajarkan kehidupan toleransi dan bisa bekerja sama dengan semua golongan termasuk non-Islam". Selanjutnya ia menegaskan bahwa yang disampaikannya itu bukanlah basa-basi (mujamalah).

Ketiga, bahwa keinginan Arab Saudi untuk bermitra dengan NU bukanlah main-main. Beberapa kali dalam lima bulan terakhir ia ingin bertemu dengan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siraj, tetapi selalu gagal karena padatnya jadwal sang kiai, termasuk bulan lalu di mana ia berkunjung ke Korea Selatan.

Kemudian muncul pertanyaan yang menggelitik, ada apa di balik upaya-upaya Dubes Arab Saudi mendekati NU saat ini? Apakah ada agenda politik, ekonomi, atau agenda ideologis?

Agenda politik dan ekonomi mungkin terlalu jauh karena NU bukanlah lembaga Negara, bukan pula lembaga politik yang memiliki otoritas untuk membangun kerja sama politik dan ekonomi. Lagi pula, jamaah NU mayoritas kalangan menengah ke bawah, yang dalam bahasa Anis Baswedan dalam sambutannya di acara yang sama, "NU mengakomodasi rakyat marjinal". Jamaah haji Indonesia yang memberikan devisa besar bagi Pemerintahan Saudi juga tidak berada dalam kewenangan NU secara organisasi.

Patut diduga bahwa agenda besar Arab Saudi terhadap NU adalah agenda ideologis. Penegasan Syekh Osama atas moderatisme NU, yang selama ini tidak pernah disampaikan oleh dubes-dubes sebelumnya menunjukkan bahwa selama ini Arab Saudi salah kaprah dengan aqidah yang dianut oleh NU. Salah kaprah itu bisa terjadi karena dua kemungkinan. Mungkin Arab Saudi tidak tahu aqidah Aswaja yang dianut NU. Mungkin juga Arab Saudi tahu bangunan dan struktur doktrin NU, akan tetapi karena hegemoni doktrin Wahabi-Salafi yang sangat mendominasi Kerajaan Arab tersebut sehingga NU malah dianggap kelompok sesat. Yang kedua inilah yang benar. Selama ini, mayoritas alumni Saudi dengan pemahaman salafis-tekstualis yang dianut begitu gencar menyerang amaliah Nahdhiyyin sebagai ahli bid'ah dan penganut khurafat.

NU adalah ahli bid'ah bagi kelompok yang mengklaim dirinya sebagai pewaris salafus saleh. Lalu kenapa perwakilan Negara Arab Saudi yang banyak mencetak ulama ekslusif-tekstualis betah berlama-lama bersama kiai-kiai dan jamaah NU yang kerap dianggap menyimpang? Dalam pembacaan istighotsah dan tahlil Haul Walisongo sebagai rangkaian acara Harlah Ke-92 NU, mereka juga tidak mempermasalahkannya. Padahal itu jelas-jelas bid'ah dalam doktrin Wahabi. Apakah telah terjadi perbedaan pandangan keagamaan antara pihak kerajaan dan ulama-ulama Saudi saat ini?

Kita juga patut menduga bahwa kemelut yang dihadapi masyarakat Timur Tengah saat ini dengan konflik yang terus berkecamuk juga sangat merepotkan Kerajaan Arab Saudi. Fakta ini bisa saja membuka kesadaran mereka bahwa doktrin Islam moderat yang dianut oleh umat Islam di Indonesia, dan NU sebagai ormas terbesarnya, sebagai doktrin ideologis yang ideal dalam kehidupan beragama dan berbangsa. Terbukti, umat Islam di Indonesia bisa hidup damai dalam keberagaman, saling menghormati satu sama lain, sebagaimana diakui sendiri oleh Duta Besar Arab Saudi untuk Indonesia Syekh Osama As-Suabi.

Tentunya, NU harus merespon dan menyikapi secara bijak dan tegas langkah-langkah pendekatan yang dilakukan oleh Arab Saudi. Selama dokrin tawasut, tasamuh, dan tawazun NU bisa diterima dan dikembangkan oleh Arab Saudi, maka NU harus terus membagun kerja sama dan hubungan baik dengan negara pelayan Haramain tersebut. Tetapi, kalau NU terus diserang, dibid'ahkan, bahkan dikafirkan oleh kelompok-kelompok yang berafiliasi dengan Arab Saudi, maka NU harus tegas melawan dan menolak upaya kerja sama yang ditawarkan. Jam'iyyah sebesar NU akan terus berdiri kokoh selama teguh dalam memelihara prinsip dan doktrinya tanpa ada unsur pragmatisme.


*) Penulis adalah Wakil Sekretaris PWNU DKI Jakarta.