Opini

Di Balik Viralnya Kondisi Jamaah Haji di Muzdalifah dan Mina

Jum, 7 Juli 2023 | 12:00 WIB

Di Balik Viralnya Kondisi Jamaah Haji di Muzdalifah dan Mina

Jamaah haji. (Foto: MCH)

Puncak pelaksanaan haji 2023 sudah usai. Ritual yang menjadi inti dari ibadah haji ini secara real time bisa kita pantau dan ikuti melalui berbagai perangkat modern hasil inovasi dan perkembangan teknologi, khususnya via internet. Informasi berbasis tulisan, foto, video bisa dengan mudah diakses khususnya melalui berbagai media berbasis media sosial ataupun media resmi.


Mulai pemberangkatan jamaah haji dari daerahnya masing-masing, masuk asrama, pemberangkatan kloter, jamaah haji sampai Tanah Suci dan berbagai aktivitas ibadah lainnya bisa dengan mudah diakses melalui genggaman tangan kita. Seolah tak ada lagi jarak waktu dan tempat antara Tanah Air dengan Tanah Suci.


Kondisi zaman serba canggih ini tentunya sangat membantu dan bermanfaat bagi seluruh umat Islam, khususnya bagi mereka yang keluarganya ikut serta menjadi bagian dari jamaah yang melaksanakan rukun Islam kelima ini. Mereka bisa saling berbagi informasi kondisi di Tanah Air dan di Tanah Suci sehingga bisa merasa tenang karena memang cukup lama berpisah hampir 40 hari.


Namun di sisi lain, banjirnya informasi tentang kondisi di Tanah Suci yang diakses melalui media sosial membawa dampak negatif bagi mereka yang tidak selektif dalam memilah dan memilih informasi yang masuk ke gawai mereka. Berbagai konten tulisan, foto, dan video hasil editing yang dibumbuhi berbagai jenis narasi oleh pihak tertentu dengan gampang tersebar dan viral.


Berbagai konten, yang jelas-jelas memiliki konteks berbeda, juga dengan mudah bergentayangan menambah ‘bingung’ masyarakat untuk memilih mana yang hak (benar) dan mana yang hoaks. Semisal informasi Tanah Suci diguyur hujan. Maka seketika, berbagai video banjir di berbagai tempat dan kejadian banjir yang telah terjadi lama bermunculan di beranda media sosial. Caption yang mengakibatkan disinformasi pun bertebaran yang menyebut bahwa banjir tersebut sedang terjadi di Tanah Suci pada waktu itu juga.


Narasi atau caption yang ditulis di media sosial pastinya tidak ada yang tanpa motif di belakangnya. Masih saja ada oknum yang menggunakan ritual haji yang suci ini untuk berbagai motif kepentingan pribadi maupun kelompok serta berbagai keuntungan seperti keuntungan ekonomi, politik, sentimen, ataupun ujaran kebencian kepada pihak lain.


Keuntungan ekonomi misalnya. Ada saja oknum yang mengolah video-video tentang haji untuk meningkatkan jumlah followers atau subscriber-nya media sosialnya. Tentu ini akan berdampak pada pundi-pundi penghasilannya. Keuntungan politik misalnya dengan mengolah video kejadian-kejadian selama prosesi ibadah haji sebagai alat ‘menyerang’ pihak lain, seperti akomodasi yang kurang memadai atau jamaah yang terlantarkan.


Terlebih terkait dengan sisi kemanusiaan dengan objek para lansia yang pada tahun 2023 jamaah haji dari kalangan ini mencapai 30 persen atau sekitar 62 ribu lebih jamaah haji lansia. Keberadaan mereka yang lemah dan perlu banyak bantuan, bagi sebagian orang bisa menjadi komoditi berbagai kepentingan di media sosial. Padahal, apa yang terjadi sesungguhnya di lapangan, bisa 180 derajat berbeda dengan apa yang ada di media sosial.


Berdasarkan pengalaman pribadi saat menjadi petugas haji tahun 2019, ritual ibadah haji memang penuh dengan ujian kemanusiaan yang bagi sebagian orang bisa dijadikan komoditi ‘klikbait’. Bagaimana tidak. saya mendampingi jamaah kloter dengan berbagai latar belakang pendidikan, suku, profesi, umur dan karakter. Selama perjalanan khususnya saat puncak haji yang sering disebut Armuzna (Arafah, Muzdalifah, dan Mina), saya merasa sangat iba dengan para jamaah lansia. Terlebih saat mulai memasuki Muzdalifah yang merupakan tanah lapang dan wajib bagi jamaah untuk menginap semalam di tempat tersebut.


Di tempat inilah kondisi fisik jamaah mulai diforsir setelah sebelumnya seharian pada 9 Dzulhijjah melaksanakan wukuf di Padang Arafah. Pada malam harinya jamaah bergeser ke Muzdalifah yang memang tidak disediakan fasilitas lengkap seperti di hotel. Jutaan jamaah dari berbagai penjuru dunia berbarengan dan berbondong-bondong datang ke tanah lapang tersebut.


Dengan tempat seadanya, para jamaah yang mulai terlihat lelah ini tidur beralaskan apa saja seperti kertas, plastik, kain, bahkan ada yang tanpa menggunakan alas. Lansia yang menggunakan kursi roda pun harus tidur sambil duduk dengan hanya menggunakan kain ihram di suasana dingin di tanah lapang beratapkan langit malam. Bahkan ada yang sebagian jamaah tidak bisa tidur sama sekali, seperti petugas yang harus melayani kebutuhan jamaah seperti menghantar ke kamar kecil, menjaga barang jamaah, dan sebagainya.


Di sinilah kekuatan fisik dan mental jamaah benar-benar mulai diuji terlebih setelah masuk saatnya jamaah harus bergeser ke Mina. Dengan kondisi tidur tidak nyenyak, di pertengahan malam mereka harus dibangunkan untuk mulai antre masuk ke bus yang akan mengantarkan ke maktab di Mina. Bagi sebagian jamaah haji yang memiliki fisik kuat, khususnya dari luar negeri, ada yang memilih berjalan kaki karena bisa ditempuh sekitar 6 kilometer.


Namun sebagian besar jamaah Indonesia memilih untuk menunggu armada bus dengan rela mengantre cukup lama dan saling berdesak-desakan. Banyak jamaah yang sambil menunggu gilirannya berdiri sambil tidur dan saatnya memasuki bus, banyak jamaah yang terpisah dari rombongan dan kelompoknya. Kondisi ini memang menjadi sebuah ritual dan rutinitas yang tak bisa dihindari dalam ibadah haji.


Sehingga sebagai bagian dari prosesi haji, masyarakat harus bisa memahami bahwa pelayanan saat di Muzdalifah memang sulit untuk diharapkan bisa berjalan ‘mulus’. Pasti ada saja permasalahan yang muncul seperti orang tua yang pingsan akibat kelelahan, bus yang terlambat atau diserobot kelompok lain, dan kejadian-kejadian kemanusiaan yang lain. 

 
Di sinilah pentingnya masyarakat untuk memahami, memilah dan memilih informasi yang beredar tentang apa yang terjadi selama ritual haji, khususnya di Muzdalifah. Akan lebih bijak, masyarakat mencari informasi dari media-media yang menyampaikan informasi secara berimbang. Bukan mengonsumsi informasi di media sosial yang sering mementingkan kecepatan dan sensasi. Media sosial bisa jadi data awal dalam memperoleh informasi, namun  harus diikuti dengan klarifikasi di media-media resmi lainnya.


Mari hindari konsumsi informasi yang belum pasti dan mempengaruhi persepsi. Terlebih terkait dengan haji yang merupakan ibadah suci di Tanah yang Suci. Jangan dinodai dengan informasi tanpa klarifikasi. Semoga mabrur dan mabrurah para jamaah haji dan kita juga bisa menjalankan misi ibadah ini untuk bekal di hari nanti. Al fatihah


Muhammad Faizin, Petugas Haji 2019