Opini

Enam Ciri Sikap Moderat dalam Berislam

Jum, 20 Juli 2018 | 02:00 WIB

Oleh A Muchlishon Rochmat

Dewasa ini dunia Islam disuguhi dengan berbagai macam realitas keislaman: ada kelompok Islam yang diidentifikasikan dengan ekstremis-teroris, ada yang fundamentalis, ada yang moderat (wasath), dan ada pula yang liberal. Sebetulnya, berbeda dalam berislam sudah ada sejak zaman dulu –bahkan pada zaman khulafaur rasyidin dimana ada kelompok khawarij misalnya.  

Lalu, model keislaman seperti apa yang sesuai dengan Al-Qur’an?  Dan sesuai dengan apa yang diajarkan Nabi Muhammad saw?  Jika merujuk Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 143 dimana umat Islam dijadikan sebagai umat yang adil (wasath), maka sudah semestinya model Islam yang adil, tengahan, moderat, wasath lah yang sesuai dengan Al-Qur’an dan yang diajarkan Nabi Muhammad saw. 

Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, model Islam wasath, moderat, adil, dan tengahan itu yang seperti apa? Apa tanda-tanda atau ciri-cirinya?  Mengacu dalam buku Moderasi Islam, setidaknya ada enam ciri-ciri bersikap moderat dalam berislam. 

Pertama, memahami realitas. Dikemukakan bahwa Islam itu relevan untuk setiap zaman dan waktu (shalih li kulli zaman wa makan). Disebutkan juga bahwa ajaran Islam itu ada yang tetap dan tidak bisa dirubah –seperti shalat lima waktu, dan ada juga yang bisa dirubah karena waktu dan tempat –seperti zakat fitrah dengan beras, gandum, atau sagu tergantung yang menjadi makanan pokok pada masyarakat itu. 

Umat Islam yang bersikap moderat (wasath) adalah mereka yang mampu membaca dan memahami realitas yang ada. Tidak gegabah atau ceroboh. Mempertimbangkan segala sesuatu, termasuk kebaikan dan keburukannya. 

Terkait hal ini kita bisa belajar banyak dari Nabi Muhammad saw.  Beliau adalah orang pandai dalam membaca realitas. Salah satu contohnya adalah Nabi Muhammad saw. tidak menghancurkan patung-patung yang ada di sekitar Ka’bah selama beliau berdakwah di sana. Beliau sadar tidak memiliki kekuatan untuk melakukannya pada waktu itu.  Namun pada saat Fathu Makkah, semua patung dan kemusyrikan di kota Makkah dihancurkan semua.

Kedua, memahami fiqih prioritas. Umat Islam yang bersikap moderat sudah semestinya mampu memahami mana-mana saja ajaran Islam yang wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram. Mana yang fardlu ‘ain (kewajiban individual) dan mana yang fardlu kifayah (kewajiban komunal). Di samping memahami mana yang dasar atau pokok (ushul) dan mana yang cabang (furu). 

Ketiga, memberikan kemudahan kepada orang lain dalam beragama. Ada istilah bahwa agama itu mudah, tapi jangan dipermudah. Pada saat mengutus Muadz bin Jabal dan Abu Musa al-Asy’ari ke Yaman untuk berdakwah, Nabi Muhammad saw. berpesan agar keduanya memberikan kemudahan dan tidak mempersulit masyarakat setempat.

Cerita lain, pada suatu ketika ada sahabat nabi yang berhubungan badan dengan istrinya pada siang bulan Ramadhan. Lalu sahabat tersebut mendatangi Nabi Muhammad saw. untuk meminta solusi. Nabi Muhammad saw. menyebutkan kalau hukuman dari perbuatan sahabatnya itu adalah memerdekakan budak, puasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan 60 orang fakir miskin. 

Ternyata sahabat tadi mengaku tidak mampu untuk menjalankan itu semua karena dia memang miskin dan payah. Seketika sahabat tadi membawa sekeranjang kurma untuk nabi. Kemudian Nabi Muhammad saw. menyuruh sahabatnya itu untuk menyedekahkan kurma kepada orang yang paling miskin. Sahabat tadi menjawab kalau dirinya lah orang yang paling miskin. Lalu Nabi Muhammad saw. memerintahkan sahabat tadi untuk membawa sekeranjang kurma itu dan menyedekahkan kepada keluarganya sebagai kafarat atas perbuatannya, jima’ pada siang bulan Ramadhan.   

Keempat, memahami teks keagamaan secara komprehensif. Perlu dipahami bahwa satu teks dengan yang lainnya itu saling terkait, terutama teks-teks tentang jihad misalnya. Ini yang biasanya dipahami separuh-separuh, tidak utuh, sehingga jihad hanya diartikan perang saja. Padahal makna jihad sangat beragam sesuai dengan konteksnya.  

Kelima, bersikap toleran. Umat Islam yang bersikap moderat adalah mereka yang bersikap toleran, menghargai pendapat lain yang berbeda –selama pendapat tersebut tidak sampai pada jalur penyimpangan. Karena sesungguhnya perbedaan itu adalah sesuatu yang niscaya. Intinya sikap toleran adalah sikap yang terbuka dan tidak menafikan yang lainnya. 

Para sahabat sangat baik sekali mempraktikkan sikap toleran. Misalnya Abu Bakar melaksanakan shalat Tahajjud setelah bangun tidur, sementara Umar bin Khattab tidak tidur dulu saat menjalankan salat Tahajjud. Para ulama terdahulu juga sangat toleran sekali. Imam Syafi’i misalnya. Bahkan, dia sampai berkata: “Kalau pendapatku benar tapi mungkin juga salah. Pendapat orang lain salah tapi mungkin juga benar.”  

Keenam, memahami sunnatullah dalam penciptaan. Allah menciptakan segal sesuatu melalui proses, meski dalam Al-Qur’an disebutkan kalau Allah mau maka tinggal “kun fayakun.” Namun dalam beberapa hal seperti penciptaan langit dan bumi –yang diciptakan dalam waktu enam masa. Pun dalam penciptaan manusia, hewan, dan tumbuhan. Semua ada tahapannya.

Begitu pun Islam, orang yang bersikap moderat pasti memahami kalau ajaran-ajaran Islam itu diturunkan dan didakwahkan secara bertahap. Pada awal-awal, Nabi Muhammad saw. berdakwah secara sembunyi-sembunyi, lalu terang-terang-terangan. 
Juga dalam minuman keras (khamr) misalnya. Ada empat tahapan dalam pelarangan khamr: informasi kalau kurma dan anggur itu mengandung khamr (an-Nahl: 67), informasi manfaat dan mudarat khamr (al-Baqarah: 219), larangan melaksanakan shalat saat mabuk (an-Nisa: 43), dan penetapan keharaman khamr (al-Maidah: 90).

Memang, pada dasarnya karakter ajaran Islam itu moderat (wasath). Dalam beberapa kesempatan, KH A Mustofa Bisri, ulama kharismatik Nahdlatul Ulama (NU), juga menegaskan kalau Islam itu moderat dan kalau tidak moderat berarti itu bukan Islam. Akan tetapi, sifat atau karakter dasar Islam yang moderat itu tertutup oleh perilaku dan sikap sebagian umat Islam yang berlebih-lebihan (ghuluw), baik yang radikal, yang fundamental, atau pun yang liberal. Bukankah sebaik-baiknya urusan adalah yang pertengahan (khoriul umuri awsathuha)?” Wallahu ‘alam.