Opini

Fitnah: Berkat atau Laknat?

Sel, 5 Maret 2019 | 12:15 WIB

Fitnah: Berkat atau Laknat?

Munas dan Konbes NU 2019

Oleh: Rumadi Ahmad

Bagaimana rasanya Anda dituduh telah merevisi iman? Bagaimana rasanya Anda dibilang kumpulan orang sakit jiwa? Sebagai manusia biasa, tentu sakit hati. Kalau masih bisa sakit hati, itu artinya kita masih manusia biasa. Buru-buru saya teringat petuah Gus Dur: "Kalau masih terganggu dengan hinaan dan pujian, itu tandanya hamba amatiran". Iya saya memang masih amatir.

Yang kasihan kawanku Abdul Moqsith Ghazali. Dia dituduh sebagai biang kerok bahtsul masai soal status non-muslim yang diributkan itu. Dia dituduh sebagai arsiteknya. Padahal, menurut informasi dari kawan-kawan yang mengikuti Bahtsul Masail Maudhu'iyah, dia justru banyak diam. Dia hanya menjadi moderator pada sesi kedua yang membicarakan mengenai konsepsi Islam Nusantara.

Pada sesi pertama yang membahas status non-Muslim kendali moderator dipegang Gus Ghofur. Saya tanya pada seorang teman yang mengikuti sesi itu, karena kebetulah saya memandu di Komisi Rekomendasi. "Cak Abdul Moqsith Ghazali bicara apa tentang status non-Muslim?," tanyaku. "Ngga ada mas. Mas Moqsith lebih banyak diam sambil manthuk-manthuk. Mungkin dia enggan bicara karena kiainya, Kiai Afifuddin Muhajir sudah banyak memberi pengayaan," jawab teman itu.

Meski banyak diam, tapi dia diminta untuk menjadi juru bicara yang melaporkan hasil sidang Bahstul Masail Maudhu'iyah, sebagaimana dalam Munas di Lombok pada 2017 dan Mukamar di Jombang 2015. Begitu tema yang dia sampaikan menjadi kontroversi, Abdul Moqsith Ghazali pun menjadi sasaran tembak. Bahkan, sempat beredar WA yang seolah ditulis Gus Ghofur bahwa yang disampaikan Abdul Moqsith merupakan pikirannya sendiri, bukan keputusan bahtsul masail. Bersyukur akhirnya Gus Ghofur membantah dan memastikan ungkapan itu adalah hoaks yang ditulis seseorang mengatasnamakan dirinya.

Seorang habib muda yang juga jajaran Syuriah PCNU Pasuruan juga menyerang Abdul Moqsith Ghazali membabi buta melalui twitter. Kebenciannya pada Abdul Moqsith Ghazali sedemikian rupa yang dituduh sebagai perusak bahsul masail.

"Biar saja saya difitnah. Kalau mau naik kelas memang harus melalui tahapan ini. Bahkan, kalau mau jadi wali fitnahnya semakin keras," katanya dalam perbincangan sebuah WAG.

Saya tidak tahu, apakah fitnah itu menjadi berkat atau laknat? Semoga menjadi berkat bagi yang difitnah dan menjadi laknat bagi yang menfitnah. Kalau soal keimanan dan keislaman, ulama-ulama NU gak usah diragukan.

Kalau Anda mengatakan NU mau merevisi iman hanya karena ajakan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara untuk tidak menyebut non-muslim sebagai kafir, jelas itu tuduhan ngawur. Yang dibahas ulama-ulama NU bukan soal teologi. Mengapa? Karena soal teologi sudah tidak ada yang perlu dibicarakan. Sudah muttafaq alaih. Yang dibahas adalah statusnya sebagai warga negara.

Saya tahu, meskipun sudah dijelaskan, para penfitnah NU tetap tidak mau paham, karena pahamnya terhadap NU memang sudah begitu dari oroknya. Yang aneh justru orang NU , bahkan pengurus NU, yang ikut-ikutan terlarut dalam semburan fitnah yang ditiupkan para pembenci NU. Mereka menari dalam musik yang ditabuh para pembenci NU.

Teruslah engkau fitnah NU. Bersekutulah dengan aktivis-aktivis HTI (alm.) yang kebenciannya pada NU sampai ke ubun-ubun. Karena NU-lah aktor penting di balik pembubaran HTI. Bahkan, untuk melawan NU sekarang ini, kabarnya mereka akan ikut mencoblos dalam pilpres, padahal ikut pemilu selama ini mereka haramkan. Mungkin eks HTI menganggap sekarang ini dalam kondisi darurat, sehingga boleh melakukan hal yang mereka haramkan sebelumnya. Terserah!

NU sudah terbiasa fitnah, dan biasanya orang-orang yang menfitnah NU akan bergelimpangan sendiri.

Bagaimana dengan fitnah kepada Abdul Moqsith Ghazali? Dia pasti menikmati. Bukan karena menaikkan popularitas, tapi bisa mempercepat menjadi wali seperti yang dicita-citakan. Kalau yang terakhir ini jangan diatanggapi serius. (Ciputat, 4 Maret 2019)

Penulis adalah Ketua Lakpesdam PBNU