Opini

Gus Muwafiq, Orator NU 'Zaman Now'

Sab, 21 April 2018 | 01:45 WIB

Gus Muwafiq, Orator NU 'Zaman Now'

Gus Muwafiq saat mengisi salah satu pengajian

Oleh Ahmad Naufa Khoirul Faizun

Di tengah banjir media, yang menurut Presiden Jokowi karena kita memasuki revolusi 4.0 yang ditandai dengan maraknya informasi digital, muncul berbagai pendakwah Islam yang populer di media sosial. 

Youtube, twitter, instagram, facebook dan ragam jenis lainya, menjadi arena baru media informasi yang belum ada  pada generasi sebelumnya.
 
Banyak keuntungan dari kemudahan akses teknologi informasi ini. Orang bicara di mana saja bisa diunggah dan disaksikan di manapun berada. 

Namun kelemahannya adalah, tak ada yang mengontrol siapa yang berhak bicara dan mengunggah kontennya seperti apa. Sehingga kadang yang kurang bahkan tak layak bicara pun malah menjadi rujukan masyarakat dalam mengambil keputusan. Ibarat sisi mata uang, media menyajikan informasi yang cepat, namun juga berdampak sulitnya mengontrol konten negatif.

Tak terkecuali dakwah Islam, yang sebelumnya sudah mengakar di Indonesia dari panggung ke panggung, dari pengajian ke pengajian, pun kini berpindah ke media sosial. Hal ini, tentu menggembirakan karena dakwah Islam dapat diakses dengan mudah, tanpa jarak dan waktu yang berbelit. Netizen, user atau followers dapat dengan mudah belajar Islam dari para kiai, dai, ustadz dan tokoh agama.

Namun demikian, ada hal yang harus diwaspadai, yaitu maraknya penceramah yang datang tiba-tiba, tanpa latar belakang yang jelas. Mereka tidak pernah nyantri, belajar agama di pesantren, atau lembaga Islam yang otoritatif, namun sudah terlanjur mendapat “panggung” dan diikuti oleh banyak orang. Bisa dipastikan, dakwah mereka bukannya menyejukkan, malah justru meresahkan. 

Mereka banyak membid’ahkan, menyesatkan, memprovokasi dan bahkan mengkafirkan sesama Muslim sendiri. Dan yang jadi korban adalah mereka yang masih awam dalam soal agama.

Di tengah maraknya ustadz-ustadz ini, angin segar datang dari sebuah kota Istimewa, tepatnya dari Sleman Yogyakarta. Tampil seorang pendakwah yang menyejukkan dan mendudukkan kembali logika keagamaan dan kebangsaan kita. Pendakwah itu bernama Gus Muwafiq, atau Kiai Muwafiq.

Di kalangan aktivis dan mahasiswa Nahdlatul Ulama, namanya sudah tak asing lagi. Pria kelahiran Lamongan, Jawa Timur, ini telah melanglang-buana menuntut ilmu dari pesantren satu ke pesantren lain. Setelah itu, ia kuliah di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dan aktif di organisasi kemahasiswaan. Puncaknya, adalah ketika ia di daulat menjadi Sekjend Mahasiswa Islam se-Asia Tenggara.

Di akhir Orde Baru, Gus Muwafiq bersama aktivis lain juga terlibat dalam berbagai aksi, sampai kemudian Presiden Soeharto tersungkur dari tahtanya. Kemudian ia juga dipercaya Presiden Abdurrahman Wahid untuk mengikuti sang presiden berkunjung kemana-mana, dan dari sinilah ia banyak menyerap ilmu dari Sang Guru Bangsa.

Ketika penulis berkunjung ke kediamannya untuk menanyakan profil lengkapnya, karena memang banyak yang meminta, ia enggan menyebut secara rinci. 

“Sudah, yang kau ketahui saja,” tuturnya. Memang, Gus Muwafiq ini terkenal sebagai sosok yang low profile. Bahkan, di kediamannya, ia selalu makan bersama dengan beberapa santri dan aktivis NU yang sering mengungjunginya. Hampir tak ada sekat.

Kiai Muhammad Imdad Zuhri, salah satu yunior di dunia pergerakan kampus Yogyakarta, memiliki pandangan tersendiri atas seniornya. 

“Setahu saya, beliau belajar di pesantren satu ke pesantren lain. Di Lirboyo pun beliau tidak ikut madrasah, namun beliau sering memijat sang Kiai,” terang Mursyid Thariqah Qadiriyyah Naqsyabandiyyah Wonosobo yang pernah disuruh untuk puasa selama delapan tahun oleh Gus Muwafiq ini. 

Selain kebal dan sedikit menguasai ilmu kanuragan, Gus Muwafiq adalah sosok yang rajin menjalankan kesunnahan, seperti shalat sunah dan puasa. 

“Untuk memperbaiki jiwa manusia, hampir tak ada yang seefektif puasa,” tuturnya suatu ketika kepada Kiai Imdad.

Kekebalan dan kedigdayaan Gus Muwafiq – hal yang hari ini mulai langka ditelan modernitas – pernah diceritakan kepada kami dalam suatu pelatihan. Ketika panas-panasnya aksi penggulingan Gus Dur dari kursi kepresidenan, konon  Gus Muwafiq mengangkat mobil panser TNI dengan hanya memakai tangan kiri di depan Istana. 

Hal ini karena mobil yang awalnya moncong meriamnya menghadap ke rakyat (berarti masih membela Gus Dur) kemudian menghadap istana. Menurut Gus Muwafiq, kejadian itu sempat difoto dan menjadi headline di Kompas. Namun sayang, sampai hari ini, penulis belum menemukan arsip tersebut.

Sebagai sosok kiai dan pendakwah NU, Gus Muwafiq tergolong memiliki instrumen yang lengkap untuk mendudukkan persoalan pada rel syariat dalam bingkai Indonesia. 

Bisa dikatakan, ia adalah sosok kiai yang langka. Dia paham teks klasik (kitab kuning), dari nahwu-shorof, balaghoh, fiqih, ushul fiqih, sampai tafsir, tauhid dan juga isu-isu kontemporer. 

Gus Muqafiq paham bagaimana sejarah Islam (Indonesia maupun dunia) terbentuk dari semenjak penciptaan semesta sampai hari ini. Agama Islam, jadi tak berdiri sendiri dalam pandangannya, namun dikelilingi oleh ragam konteks, sejarah, juga ekonomi, politik dan budaya.

Terakhir, masih menurut Kiai Imdad, suatu ketika Gus Muwafiq sowan kepada Habib Luthfi Pekalongan. Di sana ada banyak tamu. Salah satu tamu itu, memanggil Gus Muwafiq dengan dialek Jawa Timuran “Cak”. Maka, kemudian si tamu ditegur oleh Habib Luthfi, dengan mengatakan: “Ini itu mutiaranya Nahdlatul Ulama, kamu jangan memanggil sembarangan!” Panggillah Gus atau Kiai,” dawuhnya kurang lebih.

Di media sosial, khususnya Youtube, kini banyak pengajian-pengajian Gus Muwafiq yang diunggah oleh youtubers. Ia menjadi rujukan perbagai persoalan fiqih, ubudiyah, sejarah, keislaman, sampai kebangsaan. 

Pemahamannya yang luas serta daya ingatnya yang di atas rata-rata, membuat pengajian maupun kajian yang disampaikannya menjadi berbobot dan mencerahkan. Jika anda, Muslim Indonesia, khususnya warga Nahdlatul Ulama ingin menyimak pengajian via online, sebaiknya tak lupa untuk menuliskan nama pendakwah zaman now ini di kolom pencarian.

Penulis adalah pegiat media sosial. Tinggal di Purworejo, Jawa Tengah.